Sabtu, 30 Oktober 2010

Bermula dari Entrok

Oleh : Khrisna Pabichara


PERNAHKAH Anda sekejap saja membayangkan bagaimana “nikmatnya” ditindas, diperas, dan “digagahi” oleh rezim diktator? Sudikah Anda menjadi bulan-bulanan gosip, ditikam dari belakang, atau dituduh melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan? Tahukah Anda betapa mengerikan hidup di tengah masyarakat yang hukumnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa?

Entrok, novel ajib anggitan Okky Madasari, akan menemani Anda dalam perjalanan psikologis yang mengaduk-aduk perasaan—lebih tepatnya memilin-milin ulu hati—dan membabar buramnya perjalanan negara dalam “memesrai” warganya. Pembantaian yang terlupakan, penculikan yang terabaikan, bahkan perkosaan missal atas nama “perubahan” menjadi mozaik yang membuat Entrok lebih bernas. Belum lagi pergulatan batin lewat “perang saudara” antara Sumarni dan putrinya yang ialah pemindahan kenyataan menyehari ke dalam keindahan prosa—lebih tepatnya pertarungan antara yang bodoh melawan yang pintar, antara yang tertinggal dengan yang modern—melalui alur waktu yang jumpalitan tanpa harus kehilangan daya pikat estetisnya.

Begitulah. Alih-alih berkeras mendaras sejarah, pengarang muda kelahiran Magetan ini malah menyajikan dampak peristiwa sejarah bagi warga negara yang tak bisa apa-apa, tak pernah berniat macam-macam, tapi terus-menerus menjadi korban atau akibat dari sebab yang tidak dia lakukan.

Potret Sejarah atau Potret Muram?

Damhuri Muhammad menyatakan, sejarah adalah “dunia sesungguhnya” sementara sastra adalah “dunia seandainya”.[1] Pada konteks ini, tegas Damhuri, sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistimologis (benar-salah, terjadi atau tak terjadi) sedangkan teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi.

Di sinilah Entrok bisa didudukkan dengan benderang bahwa, ia tetaplah karya sastra dengan berbagai capaian estetika dan bukan kepastian sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Entrok adalah dunia seandainya, bukan dunia nyata—meskipun ada kemungkinan dibangun dari “kenyataan”. Di sini pula saya bersepakat dengan Radhar Panca Dahana bahwa, sejarah sudah memberi kita banyak tragedi.[2] Karena itu, kita harus banyak belajar darinya.

Bertolak dari sana, kita akan mendapati kecerdasan Okky dalam mendaraskan pikiran dan perasaannya. Dia tidak bermain di wilayah “buram” peristiwa berdarah, G 30 S/PKI. Dia meliuk-liuk di areal akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa berdarah itu. Bayangkan, alangkah perihnya kehidupan ketika antek-antek negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung, malah berdiri sebagai lawan yang begitu leluasa mengintimidasi, menekan, bahkan “memperkosa” hak asasi rakyatnya.

Melalui tokoh Sumarni, Okky bertutur ihwal perempuan yang berhasrat keluar dari perangkap kemiskinan. Bermula dari gairah sederhana memiliki entrok (kutang) seperti Tinah, sepupunya, agar dadanya nyaman saat berlari atau melompat. Dari sana hidupnya berubah. Sumarni menjadi perempuan pertama yang mendobrak kemapanan—dewasa itu, kuli identik sebagai profesi kaum laki-laki—menjadi kuli angkut di Pasar Ngranget. Perlahan Sumarni mampu melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Pada mulanya dia membeli televisi yang tak semua orang di kampungnya memilikinya, hingga yang paling membanggakan: membeli tanah berhektar-hektar dan perkebunan tebu. Semua bermula dari entrok.

Terceritakan pula ihwal bagaimana Sumarni jadi bulan-bulanan tentara, polisi, dan pejabat “negara” di kampungnya;. harus menyiapkan upeti setiap empat belas hari bagi tentara; menyetor “sumbangan wajib” bagi kampanye partai yang harus didukungnya; dan menyerahkan “bayaran” bagi polisi agar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Bejo, supirnya, bisa diselesaikan tanpa harus meringkuk di penjara atas tuduhan “melawan hukum”. Belum lagi teror warga sekampung: tudingan tidak beragama, pesugihan, pemelihara tuyul, dan gunjingan lain yang memerahkan kuping.

Lewat tokoh Rahayu, Okky menghadirkan wajah perempuan masa kini yang lebih berpendidikan. Pertarungan batinnya bermula dari kebiasaan ibunya, Sumarni, menyediakan sesaji bagi sesembahannya—yang bukan Allah—Rahayu mengobarkan perlawanan dengan cara yang ekstrem. Sampai akhirnya dia tinggalkan “kejahiliyahan” orangtuanya dan memilih kuliah di Jogjakarta. Perlawanan belum bersudah. Dia langgar kelaziman di kampungnya dengan bersuamikan lelaki yang sudah beranak-beristri. Akan tetapi, akhirnya Rahayu pun bergelimang derita: dipenjara karena keterlibatannya membela tanah para korban penggusuran.

Sungguh. Seolah tak hendak bersudah, Okky juga menciptakan tokoh Ndari—bocah kelas enam SD yang jadi korban perkosaan pamannya dan ditugaskan ayahnya untuk menjajakan tubuhnya bagi tentara-tentara “penjaga keamanan” demi kemungkinan tanahnya terbebaskan. Perempuan-perempuan tak bahagia. Betapa!

Demokrasi Minus Nurani

Apa yang dilakukan alumni Jurusan Hubungan Internasional UGM ini, sejatinya, adalah upaya untuk menggugah kesadaran kolektif rakyat Indonesia agar lebih berani berharap kembali bahwa, akhirnya, negeri ini harus diselenggarakan sebagaimana layaknya negara yang beradab. Suatu negara di mana pejabat betul-betul pelayan bagi rakyat; militer tidak berada di atas hukum; wakil rakyat benar-benar perpanjangan lidah rakyat; lapangan pekerjaan menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bekerja; pendidikan dan layanan kesehatan terjangkau bagi semua; pun harapan-harapan lain yang tak terhingga.

Dalam konteks ini, keberadaan Entrok bukan sekadar teks sastra, tapi sekaligus “kitab” berisi “ayat-ayat inspiratif” agar kita bangkit dari kematirasaan psikis (psychic numbing), penyakit yang kita derita akibat teror bertubi-tubi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama—seperti nasib Sumarni, Rahayu atau Ndari. Kematirasaan psikis pemicu kebangkrutan jiwa yang membuat manusia siap untuk menerima dan membiarkan segala macam kebejatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci, seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap atau mati suri. Ini dampak lain dari atmosfer refresif rezim Orde Baru. Filsuf Kierkegaard menyebut kondisi seperti ini sebagai the corruption of the will yang bisa meluluhlantakkan semangat, bahkan kemanusiaan itu sendiri.[3] Artinya, di tangan kitalah terletak ihwal menciptakan iklim berdemokrasi yang berulu pada nurani.

Pada akhirnya, upaya serius Okky untuk memindahkan peristiwa ke dalam cerita adalah lelaku estetik yang layak mendapat acungan jempol. Dia seorang “juru kabar” yang dengan cergas mengabarkan rentetan kemalangan dan ketakbahagiaan yang dialami banyak rakyat di negeri tercinta ini. Dia mengusung pelbagai kritik dengan cara yang samar, santun, dan menyentuh. Dia menyuguhkan langgam penceritaan yang khas, walaupun bukan sesuatu yang baru di ranah kesusastraan kita.

Dan, semoga Entrok bukan awal yang merangkap sebagai akhir. Semoga! []



[1] Damhuri Muhammad (2010). Romantika Pasca-Enam Lima dalam Darah-Daging Sastra Indonesia. Jalasutra.

[2] Radhar Panca Dahana (2007). Keserakahan Intelektual dalam Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia. Resist Book.

[3] A. Malik Giswar (2010). Kewarganegaraan dan Kebangsaan Pasca-Mei 1998 dalam Revolusi Setengah Matang. Hikmah (Mizan Grup).


Bogor, September 2010

Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra. Tiga cerpennya dimuat di Kolecer & Hari Raya Hantu (SPT, 2010). Buku terbarunya, Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010).


Minggu, 24 Oktober 2010

Antara Kutang, Dewa-Dewa, dan Kesewenang-wenangan Penguasa

Dari sepotong pengalaman hidup neneknya, Okky Madasari berhasil menciptakan novel yang memukau banyak orang.


Banjir pujian. Itulah yang terjadi pada acara eve’s Book Club pada awal Mei lalu di Kedai 3 Nyonya, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Yang didiskusikan adalah novel Entrok karya Okky Madasari, sarjana ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mantan wartawan yang kini menjadi dosen. Entrok, yang artinya ‘BH’, ‘kutang’, atau ‘bra’, adalah novel pertamanya.

Kisahnya digulirkan lewat konflik ibu dan anak yang memiliki keyakinan berbeda. Marni, sang ibu yang buta huruf, adalah seorang pemuja leluhur. Dia memuja dewa-dewa dan memanjatkan harapannya melalui perantara sesajen. Marni tak pernah mengenal Tuhan seperti yang disembah anaknya, Rahayu, yang telah mengenyam pendidikan di sekolah dan pemeluk agama Tuhan yang taat. Bagi Marni, Rahayu adalah sosok anak yang tak punya perasaan. Sementara itu, Marni bagi Rahayu adalah sosok perempuan yang berlumur dosa. Namun, keduanya akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama menjadi korban dari pemegang kekuasaan yang ugal-ugalan.

“Tema besar buku ini adalah soal pluralisme, bagaimana kita bisa saling toleran kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, orang-orang yang memiliki prinsip berbeda, cara pandangan hidup yang berbeda. Selain itu juga tentang penggambaran pada era Orde Baru, ketika kesewenang-wenangan begitu marak terjadi. Dan, itu kerap dilupakan oleh generasi-generasi saat ini. Mereka tidak sadar bahwa hal-hal serupa masih terjadi saat ini, bentuknya hampir-hampir mirip dengan masa lalu. Jadi, mungkin itu yang bisa diambil dari buku ini,” ujar Okky membuka pembicaraan ketika ditanyai oleh Syahmedi Dean, moderator, tentang tema novelnya.

Soal pemilihan umum pada masa setelah Orde Baru, misalnya, tambah Okky, masih menyisakan pertanyakan apakah sudah ada adil atau tidak. Begitu pula dengan maraknya penggusuran sekarang ini yang mirip dengan masa Orde Baru.

Persoalan yang melanda Marni dan Rahayu pun, menurut Okky, justru semakin mengemuka belakangan ini. “Ketika pendidikan semakin maju, pengetahuan dan informasi semakin banyak, soal-soal perbedaan semacam itu semakin mengemuka. Masing-masing orang punya alasan untuk mempertahankan keyakinannya. Masing-masing orang punya alasan untuk seolah-seolah bisa menyalahkan keyakinan orang lain. Akhirnya banyak sekali kan permasalahan belakangan ini gara-gara orang berbeda keyakinan, berbeda agama. Jadi, justru saat ini persoalan semacam itu menjadi relevan untuk diingatkan lagi. Marni dan Rahayu hanya sampel kecil bahwa hal seperti itu sudah pernah terjadi di masa lalu. Kita tidak seharusnya mempersalahkan perbedaan keyakinan. Karena, pada setiap keyakinan orang pasti ada latar belakang yang melandasinya,” ungkap Okky.

Ketika ada peserta yang bertanya, apa yang mengilhami dirinya untuk menulis novel tersebut, Okky menjawab bahwa ide ceritanya berasal dari pengalaman neneknya. “Fragmen yang tentang entrok, yang tentang Marni ingin mendapatkan BH lalu bekerja keras dan sakit hati karena pamannya tidak mau membelikan, itu riil pengalaman hidup nenek saya. Sejak saya kecil sampai besar cerita itu diulang-ulang terus dalam berbagai kesempatan. Dari sepotong pengalaman itu, saya berpikir untuk terus melanjutkan menjadi sebuah kisah,” tutur Marni. Untuk detail penokohannya, aku Okky, kebanyakan sebenarnya apa yang ia lihat dan apa yang ia ketahui ketika tinggal di Magetan, Jawa Timur. “Termasuk soal kepercayaannya. Nenek saya itu yang sampai sekarang masih selametan, masih yang ‘Mbah Ibu Bumi, Bapak Kuoso’, yang masih seperti itu, walaupun di KTP-nya ditulis agama Islam,” kata Okky.

Novel itu ditulis Okky dalam waktu tiga bulan. “Yang lama itu menentukan akhirnya saya mau menulis ini, setelah melewati pemikiran yang mungkin bertahun-tahun,” ujarnya.

Menurut Lani, salah seorang peserta, dalam novel karya Okky itu, kekuatan dan perjuangan perempuan benar-benar ditonjolkan. “Tapi, saya nyesak dengan bagian akhirnya yang tidak happy ending. Luar biasa,” kata Lani. Namun, bagi Okky sendiri, sebenarnya novel ini happy ending, hanya saja Marni memiliki konsep kebahagiaan yang berbeda dengan orang sekarang. “Jangan membayangkan bahagianya orang seperti Marni itu bisa ke mal, belanja baju-baju, atau liburan. Bahkan, sampai sekarang pun bagi orang di daerah saya itu tidak ada orang yang pergi liburan. Jadi, konsep bahagianya beda,” ungkap Okky.

Peserta yang lain, Rizka Moeslichan, merasa mendapat pelajaran sangat banyak setelah membaca novel Entrok. “Dengan keterbatasan saya dengan istilah-istilah Jawa, saya sebenarnya tersendat-sendat membaca buku ini. Namun, justru di situlah kelebihan buku ini. Saya belajar banyak,” kata Rizka.

Ada lagi peserta yang mengatakan bahwa isi novel Okky lebih dalam daripada sekadar gambar BH seperti yang ada pada sampulnya. “Yang kedua, saya tertarik dengan tulisan Okky saat menjelaskan Marni pertama kali mendapat menstruasi, orang tuanya menerangkan seperti yang tertera pada halaman 31. Di sana saya melihat ada pembelajaran tentang seks. Nah, saya ingin tahu, apakah ini terjadi di masyarakat di desa? Apakah ini berdasarkan pembelajaran Okky terhadap masyarakat di desa yang sebenarnya sudah mengerti bahwa perempuan yang sudah mens sudah bisa melahirkan anak? Apakah ini memang terjadi atau hanya rekaan Okky saja tentang masyarakat desa yang seperti itu?” ujar peserta tersebut.

Okky menjawab bahwa hal yang seperti itu memang ada dan terjadi desa. “Tapi, orang seperti Marni dan Rahayu tidak pernah terpikir bahwa itu adalah pendidikan seks. Tujuannya lebih kepada menginformasikan bahwa seorang perempuan yang diberi tahu bukan lagi anak-anak sudah bisa hamil dan sudah bisa menikah. Itu artinya si anak harus mulai menjaga tubuhnya, harus mulai berdandan. Istilahnya, anak perempuan yang sudah dewasa itu semacam barang dagangan. Jangan bayangkan itu untuk tujuan yang terlalu tinggi, untuk mencegah si anak dari apa, apa. Enggak. Dan, itu memang riil, ada,” kata Okky.

Begitu banyak tanggapan dari peserta dan begitu banyak juga penjelasan dari Okky, baik mengenai novelnya maupun tentang situasi sosial-politik pada masa-masa tertentu yang menjadi bahan penulisan novelnya. Tak terasa hari telah menjelang malam, sehingga dengan terpaksa acara pun harus diakhiri. Seperti biasa, penulis buku, moderator, dan tiga penanya terbaik mendapat bingkisan, yang kali ini datangnya dari Orlane. Akan halnya seluruh peserta mendapat voucher free facial sebesar Rp500 ribu, juga dari Orlane. Dan, tentu saja disediakan kudapan yang lezat dari Kedai 3 Nyonya serta penandatanganan buku oleh Okky. Seru! Pedje

Dari Eve Magazine

Minggu, 26 September 2010

Jumat, 24 September 2010

Membaca Orde Baru Lewat Entrok


Sabtu, 28 Agustus 2010

Judul : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : April, 2010
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp 45.000

Sebagian dari kita mungkin tidak tahu apa itu entrok. Hal ini mungkin disebabkan oleh semakin majunya peradaban manusia atau kita yang tidak mau belajar akan sejarah masa lalu.

Yang pasti, istilah tersebut masih terasa asing di sebagian besar telinga kita. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah entrok diartikan untuk pakaian dalam wanita yang berfungsi sebagai penutup payudara (istilah sekarang bra atau BH).

istilah ini diambil dari bahasa Jawa yang sebagian orang Jawa sendiri tidak tahu.

Lantas apa yang menarik dari sebuah entrok? Melalui novelnya yang berjudul Entrok ini, Okky Madasari mencoba menguak sejarah kelam masa Orde Baru (sekitar ’70 – ’90-an) yang masih menyisakan tanda tanya besar di kalangan masyarakat sekarang.

Orde Baru bisa bermakna positif bagi yang berpikiran pragmatis karena rakyat hidup dalam ketenangan tanpa suatu perlawanan. Namun, istilah tersebut bisa juga bermakna monster bagi para korban sejarah yang sekarang ini mulai membuka mulut akan kekejaman zaman yang pernah dipimpin oleh Soeharto ini.

Selanjutnya, timbul pertanyaan, apa hubungannya entrok dengan Orde Baru? Sekilas memang tidak nyambung. Namun perlu kita ketahui bahwa yang memunculkan istilah entrok adalah para kakek-nenek kita yang dulu pernah hidup pada kala itu dan merupakan saksi sejarah atas zaman tersebut.

Dikisahkan, ada dua perempuan yang hidup dalam tradisi dan pemahaman yang berbeda. Mereka seperti orang asing bagi yang lainnya meskipun tinggal dalam satu atap yang sama.

Marni sebagai ibu dan Rahayu sebagai anak hidup dalam zaman yang susah namun masih mau berusaha untuk mendapatkan keadilan dan kebahagiaan. Marni adalah seorang ibu yang memunyai pemikiran pogresif namun juga konservatif.

Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, dia bisa mengatur kehidupannya secara teratur dan tetap berpikiran akan pentingnya masa depan. Impiannya untuk memiliki sebuah entrok membuat ia terus berusaha membanting tulang dan memeras keringat untuk bisa mendapatkannya.


Itulah awal dari jiwa entrepreneurship yang dia miliki sehingga bisa menjadi orang sukses dan serba kecukupan. Namun, di balik pemikiran progesif tersebut, Marni menyisakan sesuatu yang beda dari orang-orang biasa.

Dia masih menganut kepercayaan terhadap leluhur dan tidak mau menyembah Tuhan yang orang lain sembah. Dia selalu membuat sesajen untuk meminta kelancaran rizki dan keberkahan hidup.

Dia juga selalu berpendapat bahwa asal tidak mencuri, menipu, dan membunuh orang lain bukanlah sesuatu hal yang berdosa. Berbeda dengan Marni, Rahayu adalah seorang anak terpelajar yang rasional dan menolak berbagai takhayul dan kepercayaan terhadap leluhur.

Bagi dia, itu semua adalah perbuatan syirik dan harus dihilangkan. Dia akan terus melawan walaupun pelakunya adalah ibunya sendiri.

Satu-satunya hal yang dapat menyatukan mereka adalah kebencian terhadap penguasa yang dalam hal ini diwakili oleh tentara.

Berbekal alasan memberi rasa aman, mereka bertindak sewenang-wenang dan selalu melakukan penindasan dan pemerasan.

Peresensi adalah Ahmad Faishol, penulis lepas, tinggal di Semarang

Koran Jakarta, 28 Agustus 2010

Rabu, 18 Agustus 2010

Pentas Uang

Hilir mudik uang adalah juga aliran kekuasaan dan kerakusan. Uang merupa simbol anarkisme dan pemujaan tiada habis. Kekeramatan uang dengan segenap pembiusan jadi pembuta mujarab. Uang sebagai penanda kehidupan menjadi korban kontestasi dan tumbal. Dalam ranah peradaban, uang adalah raja sekaligus pemuas hasrat. Kekuasaan uang menembus dimensi demografi, geografi, dan sosial. Kepemuasan hasrat uang menerabas sisi kultural-religius. Keadaban manusia dipertaruhkan demi pelayanan sesaat.

Uang dalam analisis Hugh Daniel Dalziel (1962) bukan lagi sebatas alat barter semata. Melainkan menggerayangi sisi pelik manusia. Uang merupa langgam dan kepentingan. Dalam catatan Mandeville “cinta akan uang adalah akar segala kejahatan, namun rasa cinta itu adalah kejahatan yang mempersatukan orang-orang menjadi sebuah komunitas” (Sosiologi Uang: 7). Ramalan ini, barangkali, yang menjadi keimanan instingtif bagi para koruptor.

Komunitas koruptor terbentuk lantaran ada kesepahaman mengenai derajat uang. Timbangan uang menjadi hal yang sangat dialogis dalam menjabarkan makna dan eksistensi. Pembentukan kesepakatan itu diam-diam menelikung kesadaran manusia bahwa keadaban dalam merawat uang bukanlah suatu yang sangat krusial. Toh, pada dasarnya uang hanya sekadar cetakan lembaran kertas yang diberi “nilai”. Nilai itulah yang dipertaruhkan hingga berujung laku negatif, yang mudah didefinisikan namun sulit diterangkan.

Desakralisasi makna uang dilakukan dalam pelbagai mantera. Penghargaan atas ini menjadi pertanyaan serius bagi siapa pun. Kelayakan dalam melayangkan hakikat uang menjadi tanda seru yang harus dicamkan. Dalam takaran publik, kemaknaan terhadap uang tak cukup dipahami sebagai pemuas. Akan tetapi menimbangnya sebagai yang “sambil lalu”. Dengan begitu ketika uang tak lagi di tangan, ada yang jauh lebih penting. Bukan lain dengan cara bagaimana nilai uang itu diupayakan untuk didapat. Apakah dengan keadaban ataukah dengan mempertontonkan hal-hal negatif.

Kisah

Lakon uang diproblematisasi Okky Madasari (2010) lewat novelnya Entrok. Di sana tokoh penting Sumarni dijabarkan sebagai pemburu uang. Berawal dari hal mendasar, kepemilikan terhadap entrok (bra), Sumarni berkutat pada bagaimana mencari uang demi sebuah eksistensi. Kisah ini menyadarkan kita terhadap kepahaman terhadap uang yang cukup dilematis. Laku-laku klenik menjadi timbangan seru dalam kepentingan mencapai puncak klimaks. Berlatar cerita tahun 1950 hingga 19994, Okky serasa hendak menghembuskan argumen bahwa pembelaan terhadap uang akan menemui jalan tragik.

Kepercayaan laku jawa menjadi perdebatan tak kunjung habis dalam novel ini. Sumarni disangka dan dihujat memelihara tuyul dan percaya takhyul. Padahal pencariannya akan uang lebih didasarkan pada kesadaran penuh terhadap harkat martabat kaum hawa. Dengan menggenggam uang dan kepemilikan bra, ia hendak mendobrak kemapanan laki-laki. Kegenitannya dalam melakoni pekerjaan laki-laki sebagai kuli angkut jadi penantang tradisi feodal. Kepentingan(awal)nya bukan pada bagaimana ia memiliki banyak uang, akan tetapi hasrat memerdekakan hak-hak perempuan.

Jalan yang ditempuh ini, menandai episode menarik dalam memaknai nilai uang. Ketajaman dalam memerkarakan uang dengan dimensi yang sangat abu-abu menjadi takaran lebih menilai novel Entrok. Ia tak dikuarkan dengan semangat berapi-api mengatasnamakan uang semata. Lebih dari itu meniatkan pada prinsip-prinsip humanisme dan kesetaraan. Kesetujuan terhadap isu yang diarusutamakan Okky bisa dinilai dengan menghargai uang sebagai suatu jalan, bukan tujuan. Sebagai jalan, kita hanya akan mengingatnya, bukan untuk melanggengkannya.

Sakralitas?

Ingatan kita akan tersentak menyimak unggahan pendiri aliran Protestan Metodis John Wesley (1703-1793). Ia mengatakan uang “bukanlah milik pribadi kalian. Uang tak bisa menjadi milik kalian kecuali jika kalian adalah penguasa dunia dan sorga”. Peringatan ini menyentil kesadaran akan ketakpunyaan manusia terhadap apa pun. Termasuk yang selalu dipuja; uang.

Dengan begitu tak ada upaya untuk mengeramatkan uang. Sakralitas (uang) tak bisa membius kesadaran interpersonal dengan sekian tipu dalam laku. Kesadaran publik terhadap nilai uang sangat temporal dan tidak transenden menjadikannya mengingat kejadian demi kejadian. Bahwa gara-gara mempertu(h)ankan uang, banyak tubuh yang harus terpenjara dalam jejuri. Banyak tubuh yang harus meringkus dirinya dalam lingkaran cercaan dan kenistaan. Banyak tubuh yang harus menelanjangi harga diri ke hadapan pasungan malu.

Padahal sebagaimana kita tahu pemilik dunia dan sorga bukan lain adalah Tuhan. Itu yang dituturkan Al-Qur’an. Semuanya adalah titipan, bahkan badan kita hanya sebagai tumpangan nyawa selama di dunia. Lalu, menilai uang bukankah kita sepatutnya menasbihkan sebagai sesuatu yang remeh. Meski tak dimungkiri perputaran peradaban selalu diirinngi dan didanai oleh seberapa banyak nilai uang digelontorkan ke muka publik. Demikian.

Ahmad Khotim Muzakka

dimuat radar surabaya/18/07/10

PERANG IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK

PERANG IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY M

KAJIAN SASTRA POPULAR DAN HEGEMONI GRAMSCI

Tenggina Rahmad Siswadi


Latar Belakang

Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan karya pertamanya dalam dunia kreativitasnya. Novel ini berlatar waktu dan tempat, pada tahun 1950-1999 di sekitar daerah Madiun. Novel ini diterbitkan untuk memperingati hari Kartini 21 April 2010 lalu, bersama beberapa novel lainnya. Ceritanya sederhana: perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini: tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama.

Pengarang memciptakan tokoh-tokohnya dengan sangat menarik, karena khas; khususnya Marni. Marni yang mulai bekerja sebagai kuli pembawa belanjaan ibu-ibu di pasar karena ingin memiliki entrok (kutang), kemudian meningkat menjadi bakul keliling, bakul duwit (rentenir), menyewakan pikup, lalu berkat ketekunan dan tekad, serta prinsip hidupnya menjadi juragan tebu dan orang terkaya di Singget, desanya. Anaknya yang dibesarkan dalam kecukupan berkat keberhasilan finansial si ibu, dapat bersekolah hingga perguruan tinggi di Yogyakarta, menjadi aktivis yang membela penduduk yang tanahnya tergusur akibat pembangunan sebuah waduk.

Tema politik berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang makin lama makin cenderung pada militeristik makin lama berkuasa dan merajalela, apalagi setelah PKI dihancurkan. Keputusan seorang lurah bahkan dapat dinisbikan oleh seorang komandan militer yang wajarnya tak mempunyai kaitan dengan urusan kependudukan. Rakyat kecil benar-benar ditekan. Marni harus menyetor uang secara teratur untuk “keamanan”, untuk pemilu, untuk kecelakaan pikupnya. karena tak sengaja “kentut” tukang becak disiksa direndam di tengah malam yang dingin dan dibunuh ketika peristiwa itu muncul di koran. Tentu saja pelapor dan wartawannya dihukum langsung oleh instansi masing-masing tanpa diadili. Dan dengan mudah setiap orang dicap PKI dan dijebloskan ke penjara. Pemerintah yang sewenang-wenang menghasilkan pembangkang dan terorisme. Peledakan stupa Borobudur, pembangkangan pada pembangunan waduk disajikan dalam novel ini dari mata rakyat kecil. Setiap bab yang disertai keterangan tahun dalam novel ini merujuk pada suatu peristiwa politik penting yang memang terjadi di Indonesia. Waktu cerita merentang dari 1950 sampai 1999.(Djoko,2010).

Tema agama dan kepercayaan yang kaya dalam novel ini antara lain menampilkan tokoh Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, rajin membuat tumpeng panggang yang diletakkan di bawah pohon asam. Animisme Marni mewakili penduduk desa yang melakukan hal sama, termasuk festival “temanten tebu” yang diselenggarakan pabrik gula Purwodadi. Di lain pihak, Koh Cayadi dan keluarganya pergi ke kelenteng. Dan Rahayu yang belajar agama Islam tentu saja menentang si ibu yang dianggap murtad. Sumber konflik ibu dan anak antara lain terletak pada masalah tersebut. Namun Rahayu yang kritis juga melihat kemunafikan guru agamanya, Pak Waji. Ia tahu sang guru tak mau membayar utang yang cukup besar pada ibunya tetapi tak malu menjelekkan ibu dan dirinya di depan kelas. Sebuah perbuatan tercela dalam dunia pendidikan dan agama. Sebuah kritik sosial yang tajam. Masih masuk lagi masalah pesugihan: Marni diajak Cayadi ke Gunung Kawi mencari ilham untuk mengembangkan usaha. Dia tidak tahu bahwa kunjungannya yang singkat ke Gunung Kawi di kemudian hari mengakibatkan masalah besar: penduduk Singget mengira dia mencari tumbal, mengorbankan manusia untuk mendapat kekayaan. Orang menjauhi dirinya secara terang-terangan.

Gaya komunikasi dan bangunan struktur ceritanya mengingatkan pembaca kepada tiga novelis besar nasional, yaitu Umar Kayar (realisme antropologi), Ahmad Tohari (realisme antropologi), dan Pramoedya Ananta Toer (realisme sosialis). Hal ini sesuatu yang wajar terjadi mengingat teks sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan budaya, dan teks sastra juga merupakan kutipan mosaik-mosaik dari teks yang sebelumnya atau orkestra teks. Teks sastra juga merupakan refleksi ekspresi pengarang dan masyarakatnya, terkadang malah lebih dari itu.

Hal tersebut merupakan penjabaran teori strukural/ idealogis general Gramsci yang kemudian diterapkan di dalam sastra. Gramsci menganggap dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bahwa hanya sebagai refleksi atau ekspresi jiwa. Struktur kelas ekonomi atau infrastruktur material itu, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasikan massa manusian, menciptakan suatu tanah lapang tempat manusia bergerak di atasnya. Karya sastra sebagai bagian formasi ideologis dapat bersifat hegemonik ataupun counter-hegemonik atau bersifat inkorporasi ataupun resistensi terhadap wacana dominan. Sebagaimana dikemukakan oleh Foucault, mempermasalahkan wacana kekuasaan biasanya dibarengi dengan penolakan. Dalam realitas, perlu diperhitungkan bahwa kekuasaan selalu melahirkan penolakan atau perlawanan (Haryatmoko, 2002:21).

Berdasarkan wacana di atas, maka novel Entrok sangatlah pantas untuk dibicarakan dalam tulisan ini, mengingat novel ini juga memiliki ide kreatif yang menarik dan membuat pembaca selalu penasaraan untuk ingin tahu, apa yang sebenarnya Entrok itu sendiri? Apakah itu hanya sebuah kostum untuk menutupi buah dada wanita atau merupakan representasi dan simbol sebuah ideologi dominankah maupun subaltern-kah? Maka untuk mendapatkan informasi yang lebih jauh akan hal tersebut, telaah dalam tulisan ini menggunakan teori hegemoni Gramsci dalam menguraikan novel tersebut.

Permasalahan

Novel Entrok karya Okky Madasari dalam perspektif Raymond Williams termasuk dalam sastra populer. Artinya, novel ini juga mengandung produk ideologi pengarang dan ideologi industri di dalamnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana peperangan ideologi dalam teks sastra tersebut bergerak, maka digunakan teori hegemoni Gramsci. Adapun fokus pembicaraan ini dibatasi pada deskripsi bagaimana formasi ideologi dalam novel Entrok dan bagaimana negosiasi ideologi di dalamnya.

Sastra Popular

Raymond Williams dalam “The Analysis of Culture” mengungkapkan tiga ketegori dalam mendefinisikan kebudayaan. Pertama, kebudayaan merupakan proses atau ketetapan manusia yang sempurna pada bagian kebenaran tertentu atau nilai-nilai universal. Proses ini merupakan penemuan dan gambaran di dalam kehidupan dan pekerjaan dari semua nilai. Kedua, kebudayaan diartikan sebagai manusia yang bekerja dengan intelektualitas, daya khayal, ide, dan pengalaman yang bermacam-macam dalam ingatan mereka. Kegiatan kritik berlangsung secara alami, gagasan dan pengalaman digambarkan serta dinilai. Ketiga, kebudayaan merupakan gambaran perjalanan fakta kehidupan yang diungkapkan dengan makna pasti dan nilai, tidak hanya dalam seni dan belajar tetapi juga dalam institusi dan tingkah laku yang luar biasa. Klarifikasi arti dan nilai dalam fakta kehidupan, fakta budaya; misalnya analisis dalam kritik sejarah bekerja dengan analisis relasi dan tradisi serta analisis elemen dalam perjalanan kehidupan.

Kita dapat membedakan kebudayaan tinggi (high culture) dan kebudayaan populer (popular culture) sebagai ranah studi budaya (cultural studies) karena masing-masing kebudayaan tersebut memiliki ciri-ciri yang membedakannya. Kebudayaan tinggi berasal atau diciptakan oleh para petinggi atau pejabat (dahulu kerajaan atau keraton), sedangkan kebudayaan populer berasal dari rakyat biasa. Kebudayaan tinggi tentu saja hanya dapat dinikmati oleh para petinggi di keraton saja (sekarang, masyarakat lapisan atas), sedangkan kebudayaan populer dapat dinikmati secara massal oleh masyarakat.

Kebudayaan tinggi bersifat sakral (pelakunya adalah orang-orang khusus dan pilihan), mewah, dan perlu biaya yang tak sedikit, sedangkan kebudayaan populer sederhana dan tak membutuhkan banyak biaya karena dilakukan dan dinikmati oleh rakyat biasa. Kebudayaan populer juga diciptakan untuk tujuan komersial, sedangkan kebudayaan tinggi diciptakan hanya untuk dinikmati saja, tidak untuk tujuan komersial. Kebudayaan tinggi hanya dinikmati oleh kalangan lapisan atas seperti seniman besar, sastrawan, pejabat, petinggi negera, dan sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan populer (popular culture) merupakan kebudayaan yang diciptakan oleh rakyat biasa dengan sederhana dan ditujukan untuk tujuan komersil sehingga dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Kebudayaan populer (popular culture) merupakan salah satu bagian dari ranah studi budaya (cultural studies) karena kebudayaan populer juga bagian dari budaya yang memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat mana pun. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kebudayaan populer memiliki cakupan yang lebih luas daripada kebudayaan tinggi. Kebudayaan populer dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, sedangkan kebudayaan tinggi hanya dapat dinikmati oleh masyarakat lapisan atas saja.

Namun demikian, kebudayaan populer sering dianggap sebagai parasit bagi kebudayaan tinggi. Hal ini disebabkan oleh jangkauan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menikmati kebudayaan populer jauh lebih murah daripada kebudayaan tinggi. Oleh karena itu, masyarakat lebih memilih kebudayaan populer daripada kebudayaan tinggi. Kebudayaan populer diciptakan dari masyarakat yang terkena dampak kapitalisme dan demokrasi. Kebudayaan ini sering disebut pula sebagai budaya pop (pop culture). Kebudayaan populer diciptakan dengan spontanitas oleh, dari, dan untuk dinikmati oleh rakyat lapisan bawah. Kebudayaan populer bersifat kasar, tetapi tidak menampakkan kevulgaran. Sifat kasar inilah yang digunakan untuk menutupi kevulgaran budaya ini.

Kebudayaan populer sering pula dianggap sebagai kebudayaan dengan selera rendah dan merupakan sisa-sisa dari kebudayaan tinggi. Kebudayaan populer hanya dianggap untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya (komersil). Oleh karena itu, kebudayaan populer sering disebut sebagai budaya massa yang hanya menekankan aspek kemasan (kitsch), tanpa mempedulikan isi dari kebudayaan tersebut. Kaplan menganggap bahwa kebudayaan populer tidak buruk. Dia menganggapnya sebagai seni menengah yang dapat membedakaannya dengan kebudayaan tinggi. Kebudayaan populer disebut sebagai escapist entertainment yaitu membuat penikmat budaya ini merasa terhibur sehingga seolah-olah lari dari kenyataan yang ada.

Kebudayaan populer merupakan hasil dari masyarakat modern (kapitalisme dan demokrasi). Kebudayaan ini tidak hanya dianggap seni, tetapi juga sebagai barang komoditi yang mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Kebudayaan populer bukan satu-satunya kebudayaan, tetapi kebudayaan ini memiliki sifat yang universal. Dalam perkembangannya, kebudayaan populer juga memanfaatkan kebudayaan rakyat (folks culture) seperti musik, teater, dan tari tradisional. Kebudayaan rakyat (folks culture) diciptakan oleh masyarakat tradisional yang masih menganut paham feodalisme. Hal ini berbeda dengan kebudayaan populer yang berasal dari masyarakat modern. Kebudayan rakyat telah ada sejak lama dan telah mendarah daging di masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan populer sengaja memanfaatkan kebudayaan rakyat untuk mengembangkan kebudaannya serta memperluas jangkauannya sehingga tujuan komersialnya semakin mudah didapat.

Perkembangan industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).

Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’, telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.

Sastra populer tak dapat dilepaskan dari kebudayaan populer karena ia lahir dari semangat kebudayaan populer. Sastra populer memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan apa yang dianggap sebagai sastra tinggi, seperti mengharamkan makna ganda, menghindari kerumitan dengan cara penyelesaian masalah dengan mudah, penokohan stereotipe dengan sistem bintang, dan sebagainya. Salah satu karya sastra populer yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan dinikmati masyarakat adalah novel Entrok karya Okky Madasari.

Hegemoni

Titik awal konsep Gramsci (Simon, 2001:19-20) tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Misalnya, dalam novel ENTROK- ketika pemerintah yang otoriter dan atas nama pembangunan ingin membuat waduk dengan menggusur tanah rakyatnya, parahnya pemerintah menggunakan militerisme dalam melancarkan hambatan atauu perlawanan rakyatnya, hal ini adalah suatu tindakan politik-kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan dengan persetujuan dengan rnenggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus.

Teori hegemoni (Sugiono, 1999:31-34) dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik itu artinya agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanva harus merasa mempunyai dan mengintemalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dan itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Dimana kekuatan hanyalah instrumen untuk menjaga stabilitas kekuasaan terhadap ideology, moral, dan kultur penguasa.

Gramsci mengasumsikan bahwa, ada suatu pertalian yang penting antara kebudayaan dengan politik, tetapi pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis. Kebudayaan harus dipecah-pecah menjadi bermacam-macam bentuknya, seperti kebudayaan “tinggi” atau “rendah“, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense; dan dianalisis dalam batas-batas efektivitasnya dalam “penyemenan” atau merekatkan bentuk-­bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci menolak konsepsi Marxis yang lebih kasar dan lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas” dan menyukai satu pasangan konsep yang lebih canggih dan bernuansa, adalah “kekerasan dan kesetujuan”. Dia berurusan terutama dengan cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik cultural, politis, ideologis, yang bekerja untuk “penyemenan” atau merekatkan masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif, walaupun tidak pernah lengkap.

Gramsci memilah superstruktur menjadi dua level struktur utama, yang pertama masyarakat sipil dan yang kedua masyarakat politik atau negara. Masyarakat sipil mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja, dan lain sebagainya. Sebaliknya, masyarakat politik adalah semua institusi public yyang memegand kekuasaan untuk melaksanakan “perintah” secara yuridis seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi, dan pemerintahan. Kedua level superstruktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda, adalah ranah persetujuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik (Sugiono, 1999:35).

Bagi Gramsci, bentuk-bentuk organisasi kultural atau kebudayaan, merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama dalam hubungan dengan kemungkinan dioperasikannya dalarn kehidupan praksis. Studi mengenai kebudayaan serupa itu, misalnya berupa sekolah dengan seluruh levelnya, gereja dengan organisasi sosial besarnya, surat-surat kabar, rnajalah-majalah, perdagangan buku, juga apa saja yang komplementer bagi sistem negara, atau lembaga-lembaga kultural seperti universitas popular. Studi mengenai kebudayaan juga melipuuti ebgai berbagai aktivitas cultural lainnya, seperti seni dan kesusastraan (Faruk, 1994:67).

Ada empat hal yang patut dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern.

Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk rnencapai konsensus semua kelompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegernoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni (hege­moni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiap­an budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memper­hatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002:23-24).

Teori hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai system sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra Raymond Williams (Faruk, 1944:78).

Williams, dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci, membedakan kebudayaan yang terllibat dalam kekuasaan menjadi tiga kategori: kebudayaan hegemonik atau dominan, kebudayaan bangkit atau emergent, dan kebudayaan endapan atau residual (Faruk,1994:79; Harjito,2002:28; Williams, 1988:242-247). Kebudayaan dominan bersifat selektif dan cenderung memarginalisasikan dan menekan seluruh praktik manusia yang lain. Akan tetapi, proses itu selalu merupakan proses peperangan dan konflik. Kebudayaan yang bangkit adalah praktik-praktik, makna-makna, dan nilai-nilai baru, hubungan dan jenis-jenis hubungan yang tidak hanya yang bersangkutan dengan ciri-ciri yang, semata baru dari kebudayaan dominan, melainkan secara subtansif merupakan alternatif bagi dan bertentangan dengannya.

Kebudayaan endapan mengacu kepada pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang dibentuk di masa lalu yang terus hidup dan dipraktikan pada masa kini meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan dan bersifat adaptif atau fleksibel dengan bentuk kebudayaan lainnya. Sebagai salah satu situs hegemoni, di dalam karya sastra terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya membahas ideologi apa saja yang terdapat di dalam teks, akan tetapi juga membahas bagaimana relasi antar ideologi tersebut (Hardjito,2002:25). Ideologi itu sendiri adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia. Karena merupakan sistem besar, ideologi mempunyai pengikut. Ideologi bersifat kolektif dan berada di wilayah supersrtuktur atau kesadaran dan menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang, lembaga-lembaga pemerintah, institusi pendidikan, organisasi-organisasi, perusahaan komersial, dan lain-lain (Storey,2003:4).

Formasi ideologi dalam novel Entrok

Formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elelmen tadi tidak harus muncul bersamaan. Elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang berwujud berbadai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung.

Formasi ideologi dalam teks muncul melalui tokoh, latar (yang mencakup tempat, waktu, dan sosial), serta peristiwa. Dalam perspektif kajian ini, semua elemen tersebut meruapakan representasi ideologi yang melekat pada setiap elemen tadi. Oleh karena itu, karya sastra disebut juga sebagai situs ideologi. Karena, teks sastra merupakan dialektika pemikiran pengarang itu sendiri yang dimunculkan melalu tokoh, latar, serta peristiwa. Akan tetapi, dalam fiksi populer tidak hanya sebagai wadah-wadah ideologi, sebuah alat yang menyenangkan dan senantiasa berhasil mentransmisikan ideologi dominan dari industri-industri budaya kepada massa yang dikorbankan dan termanipulasi yang harus diibongkar. Bertentangan dengan hal ini, mereka mengatakan bahwa fiksi populer merupakan suatu ruang spesifik, dengan ekonomi ideologisnya sendiri, yang menyediakan serangkaian wacana dan wacana-tandingan yang berubah-ubah secara historis, kompleks, dan kontradiktif yang harus dihidupkan dalam kondisi pembacaan tertentu (Storey,2007:43).

Demikian halnya novel Entrok, dapat diklasifikasikan penyebaran ideologi yang melekat pada setiap tokoh. Tokoh utama dalam novel Entrok,yaitu Marni (Ibu/MR) dan Rahayu (Anak/RY), sedangkan tokoh-tokoh lainnya dapat dilelompokkan sebagari berikut, Kiai Hasbi (KH), Koh Cayadi (pedagang Cina/KC), Komandan Tentara (KT), Pak Lurah (PL). Tokoh-tokoh tersebut berhubungan secaraunik, yang satu ingin menghegemoni, yang satu meresistensi, yang satu lagi bernegosiasi. Semua peristiwa tersebut terjalin dalam bangunan konflik yang menarik dan relevan dengan pokok persoalan atau tema yang ingin dibicarakan dalam karya tersebut oleh pengarang. Setiap tokoh mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, seuai dengan konsep pemikiran atau ideologi. Bagaimana formasi ideologi masing-masing tokoh, berikut dapatdilihat dalam bagan di bawah ini.

Tabel 1

Tabel tokoh, elemen ideologi, dan formasi ideologi pada novel Entrok


TOKOH
MR RY KH KC KT PL
Kelompok tokoh subaltern subaltern subaltern subaltern Dominan Dominan
Kategori tokoh Rakyat Rakyat Intelektual organik Rakyat Pemimpin pemimpin
Latar Desa - - - - -
Formasi ideologi Feodal

Kapitalis-sosialis

Demokrasi dan sosialis Demokrasi da Sosialis Feodal dan Kapitalis-sosialis Otoriter, militerisme, kapital Kapitalis-humanis
Elemen kesadaran Menjaga tradisi untuk kaya Persamaan hak warga negara Persamaan hak warga Negara Menjaga tradisi untuk kaya Mengangungkan kedudukan dan tradisi Mengangungkan kedudukan dan tradisi
Elemen solidaritas-identitas Rakyat biasa Aktivis Kiai dan aktivis wiraswasta Pemimpin militer Kepala desa
Elemen kebebasan Adat dan harta Hak WN Hak WN Adat dan harta Kekuasaan dan harta Kekuasaan, harta

Berdasarkan skema di atas, dapat digambarkan siapa yang menghegemoni dan siapa yang terhegemoni? Dalam novel Entrok diceritakan bahwa Marni adalah seorang Ibu, yang dulunya miskin, ditinggal suaminya dan memiliki satu anak yaitu Rahayu. Seiring dengan kerja kerasnya, ia berprofesi sebagai pedagang dan akhirnya ia sukses menjadi orang kaya di desanya. Di tengah kesuksesannya itu, ia membuka usaha simpan pinjam, istilahh orang desa rentenir atau lintah darat. Ironisnya, ia harus membayar uang keamanan setiap dua minggu sekali kepada pemimpin militer dan kepala desa setempat. Dengan alasan, agar usahanya lancar dan tidak diganggu oleh orang yang lain di sekitarnya. Berikut kutipan yang berkaitan dengan hal tersebut.

“Mau apa kalian pagi-pagi ke sini, hah?”

Ibu diam tak menjawab. Memang sudah begitu rencananya. Bapak menganggap semua keruwetan ini bersumber dari omongan ibu. Maka pada pertemuan kali ini, Ibu hanya akan diam dan menyetujui apa yang dikatakan suaminya.

“Sebelumnya saya mohon maaf, Ndan, kalau mengganggu waktu Komandan. Kami minta maaf juga kalau kemarin sudah membuat Komandan kecewa”

“Hasyah…tidak usah bertele-tele. Apa mau kalian?”

“Mohon maaf Ndan, kami..anu..kami mau minta keamanan..”

Komandan Sumadi tertawa terbahak-bahak. “Benar begitu, Yu?”

Ibu mengangguk lalu berkata. “Iya, Ndan. Saya minta tolong, saya Cuma cari makan. Jangan diganggu sama pak RT dan orang-orang desa ini”. (Hal 76-77).

Demikian gambaran singkatnya, kemudian anaknya, si Rahayu sedang menempuh studinya di Jogja. Seiring perjalanan waktu Rahayu besar menjadi aktivis kampus dan masyarakat untuk memperjuangkan hak rakyat yang tertindas. Meski pun, akhirnya ia dipenjara karena dituduh PKI dan dibebaskan pada tahun 1999, setelah reformasi. Ia memberikan pendampingan terhadap masyarakat yang akan di gusur oleh militer atas instruksi pemerintah pusat, namun usahanya gagal. Di sinilah pemberontakan atau resistensi ideologi subaltern terhadap ideology dominan atau yang menghegemoninya berperang, dan akhirnya teks sastra ini lebih memilih ideologi dominan untuk tetap menjadi pemenang dari peperangan tersebut.

Tarik menarik kepentingan ideology terus berlangsung, antara Marni-Rahayu, Marni-Komandan, Marni-Pak Lurah dalam novel tersebut. Konflik ideology ini akhirnya menciptakan kemungkinan-kemungkinan di sampingnya. Satu pihak apakah kalah tanpa syarat, atau menyerah dengan syarat? Hal inilah yang disebut dengan fase negosiasi ideology dalam teori hegemoni Gramsci, masalah ini akan di bahas dalam sub bab berikutnya.

Negosiasi Ideologi dalam novel Entrok

Dari uraian ini dapat disederhanakan bahwa ideologi dominan, kapitalisme, mendapat dukungan dari ideologi otoritanisme dan militerisme. Ideologi subaltern adalah ideologi sosialisme, feodalisme, rasialisme, vandalisme dan anarkisme. Negosiasi ideologi dilakukan oleh ideologi kapitalisme yang humanis, sosialis, dan demokaratis. Berikut skemanya.

Tabel dialektika ideologi

Kelompok dominan Negosiasi Kelompok subaltern
Kapitalisme

Otoriterisme

Militerisme

(kapitalisme) (sosialisme)

Demokrasi

Humanisme

Sosialisme, feodalisme, rasialisme, vandalisme, anarkisme

Dalam novel Entrok diceritakan bahwa terjadi negosiasi ideologi antara Komandan (dominan) dan Marni cs (subaltern), misalnya, Rahayu gagal memperjuagkan hak rakyat tertindas dan akhirnya di hokum, suami Rahayu ssendiri meninggal di tembak militer. Dan yang paling menarik adalah, tokoh Marni. Akhirnya, tokoh Marni memilih bernegosiasi dengan ideologi yang lain yang melahirkan ideology baru yaitu kapitalisme-sosialis dan humanis. Sebagaimana yang terangkum dalam kutipan singkat berikut ini.

Ya masih untung, bakulan duitku masih laku di Pasar Ngranger. Bakul-bakul itu masih terus meminjam duit kepad ku. Sebab, hanya aku satu-satunya bakul duit yang mau blusukan ke Pasar Ngranger setiap hari, mengantar duit yang mau dipinjam dan menarik cicilan setiap hari. Bakul duit mana yang masih mau memeras keringat seperti aku ini. Mereka hanya tinggal duduk di rumah, menunggu orang yang butuh pinjaman datang, lalu menagih bunga sebesar sepuluh persen setiap tanggal sepuluh ke rumah orang yang utang. (hal 259)

Marni adalah tokoh yang berkarakter pekerja keras, tidak mudah menyerah, kecuali apabila berhadapan dengan penguasa. Demi kelancaran usahanya, apa saja ia laksanakan, mulai pergi ke tempat-tempat keramat, membayar uang ke amanan dan lain-lain sebagainya. Sungguh sangat menarik novel ini untuk di baca, konflik-konfliknya dibangun sangat tertata, sehingga memberikan kemudahan untuk pembaca dalam menyelami lautan makna-makna yang tersimpan di dalamnya. Demikian analisis hegemoni Gramsci yang sangat sederhana ini, tentunya masih banyak sekali ruang-ruang ideologi yang harus dibongkar. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya lebih banyak memperhatikan hal-hal yang belum maksimal diungkapkan di dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya memotret secara umum peperangan ideology dalam novel Entrok karya Okky Madasari, sebagai awalan dan semoga bukan akhiran.

Daftar Pustaka

Arnold, Matthew. 2008. “Culture and Anarchy: An Essay in Political and Social Criticism,” dalam http://www.enotes.com/, diunduh 24 Desember 2008.

Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

——-.2001. Beyond Imagination: sastra mutakhir dan ideology. Yogyakarta:Gama.

Harjito. 2002. Student Hijo karya Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni Gramscian. Tesis. Yogyakarta:UGM

John, Storey. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Kaplan, Abraham. 1966. “The Aesthetics of the Popular Arts,” dalam Journal of Aesthetics (Spring). New York: MCGrow-Hill Book Company.

Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: Gramedia

Triwikromo, Triyanto. 2008. “ Andrea Hirata: Kita dalam Krisis Keteladanan,” dalam Suara Merdeka, 21 september.

Williams, Raymond. 1988. Dominant, Residual, and Emergent. Dalam KM Newton, twentieth century literary theory. London: Macmillan education ltd.

Media Massa:

Apsanti Djokosujatno, Suara Pembaruan edisi Mei 2010.

Tenggina Rahmad Siswadi, lahir 19 November 1986. Peneliti di Lembaga KALELES & mahasiswa pascasarjana sastra UGM.

Minggu, 25 April 2010

Perbedaan Itu Merupakan Kekayaan

Suara Pembaruan, 21 April 2010

[JAKARTA] Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya dan memanjatkan harapannya. Tak pernah ia mengenal Tuhan dan dengan caranya sendiri ia mempertahankan hidup. Rahayu, anak Marni, generasi yang dibentuk oleh pendidikan dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama yang taat dan selalu melawan budaya leluhur.

Diawali dengan latar belakang sebuah desa di Magetan, Jawa Timur, kisah mengenai perbedaan pandangan dalam menjalani hidup seperti cuplikan cerita di atas disajikan secara jelas dalam novel bertajuk Entrok karya penulis muda, Okky Madasari. Budaya pedesaan pun digambarkan dalam novel ini, termasuk kata-kata dan kalimat yang apa adanya.

“Ini adalah salah satu novel yang memiliki nilai dokumenter dengan tema estetik dan kebudayaan yang menarik. Seperti tari ledek yang menjadi ciri tarian khas Magetan. Novel ini juga dapat memberikan kata-kata baru bagi pembacanya, karena penulis manyajikan kata-kata apa adanya, seperti nunut, yang dalam bahasa Indonesia berarti menumpang,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Apsanti Djokosujanto pada peluncuran dan diskusi novel Entrok di Jakarta, baru-baru ini.

Potret Realitas Hidup
Konflik dalam novel ini terjadi antara seorang ibu dan anak yang memiliki pandangan berbeda mengenai keyakinannya. Judul Entrok yang memiliki arti kutang atau pakaian dalam wanita ini bercerita tentang bagaimana seorang perempuan mempertahankan keyakinannya.

“Cerita Entrok sangat relevan dengan kondisi saat ini yang mana banyak kita liat konflik yang berlatar belakang agama, orang yang berbeda keyakinan saling merusak dan bermusuhan. Dan sebenarnya, konteks keberagaman sudah ada di Indonesia sejak zaman dulu, semoga dengan novel ini membuat kita sadar bahwa perbedaan adalah sebuah kekayaan,” ujar Okky Madasari menambahkan.

Sementara itu, Aktivis Demokrasi dan HAM Hendardi berpendapat, novel ini lahir dari kegelisahan dan merupakan potret realitas hidup walaupun setting ceritanya terjadi pada tahun 1960, namun praktik-praktik ketidakadilan yang dikisahkan masih terjadi hingga saat ini, seperti stigmatisasi dan pelabelan atas status seseorang.

Peluncuran dan diskusi buku ini juga menampilkan narasumber dari intelektual Muslim, Ulil Abshar Abdalla yang mengemukakan, novel itu mengenalkan kembali kultur abangan atau kekuatan corak keagamaan kejawen ke permukaan, contohnya dalam satu keluarga, namun terdiri dari beberapa agama. Novel ini juga memiliki nilai-nilai toleransi ketimbang nilai agama yang ada di Indonesia. Di dalam novel itu, yang menerima pandangan yang berbeda, secara legawa diwakilkan oleh tokoh Marni. [L-13]

Minggu, 18 April 2010

Pelajaran dari "Entrok"

Kompas, 18 April 2010

Gramedia menerbitkan novel terbaru berjudul Entrok karya Okky Madasari. Novel ini berkisah tentang seorang ibu dan anaknya yang hidup di alam pemikiran sangat berbeda. Sumarni, sang ibu, adalah perempuan Jawa, tidak berpendidikan, dan masih menyembah leluhur. Anaknya, Rahayu, generasi muda yang dibentuk sekolah, penjunjung akal sehat, dan pemeluk agama Tuhan yang taat.

Perbedaan itu membuat keduanya merasa asing satu sama lain. Sumarni menganggap anaknya tidak punya jiwa. Rahayu menganggap ibunya sang pendosa.

Kisah ini ditempatkan dalam ¬setting masyarakat Jawa abangan tahun 1950-1994—sebuah kurun waktu yang melintasi dua rezim pemerintahan: Orla dan Orba. Dengan begitu, penulis leluasa mengalirkan kisah Sumarni-Rahayu di antara gelombang peristiwa politik besar yang muncul saat itu, mulai dari pemberontakan PKI, pemaksaan memilih Golkar di setiap pemilu, penembakan misterius, pelarangan terhadap pemeluk kepercayaan, pemaksaan ber-KB, peristiwa Kedung Ombo, hingga pelabelan politik.

Tidak berhenti sebatas kisah, novel ini juga memaksa pembaca masuk ke dalam tema-tema besar, mulai dari feminisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM. Inilah yang membuat Entrok memiliki daya pikat, terlebih, Okky bisa meramu semua itu dengan teknik bercerita yang mengalir. (BSW)

DUA FIKSI PEREMPUAN DI BULAN KARTINI

Oleh : Sica Harum Wibowo, Media Indonesia, 17 April 2010


Masih bicara mengenai poligami, pluralisme, feodalisme, dan patriarki yang melahirkan kekerasan bagi perempuan.

SETIDAKNYA ada dua novel perempuan yang hadir di bulan April ini. Yakni, Ayu Mando dan Entrok. Keduanya berkisah tentang kehidupan perempuan menghadapi poligami, pluralisme, juga kekerasan. Ayu Manda ialah putri bangsawan yang dibesarkan menjadi penari. Ia hidup di awal 1960-an. Sedari kecil, putri dari istri utama di Puri Mundak Sungkal itu sudah memendam kemarahan karena ayahnya memperistri tiga perempuan lain selain ibunya.

Sebagai putri dari istri pertama Gusti Ngurah Amba, Manda kecil menempatkan diri sebagai pembela kehormatan ibunya. Dia tahu, tanpa anak laki-laki, Manda dan ibunya tidak punya posisi. Maka ia mulai bersaing dan mengenali intrik-intrik di puri dengan alami, terutama ketika ia menari ke Eropa bersama dengan perempuan sebaya yang ternyata saudara satu ayah. Permusuhan ini bertahan sampai mereka dewasa, bahkan ketika puri bangkrut.

Manda juga penari joged yang populer berkat dasar-dasar tari le-gong yang ia miliki. Saat itu, tarian joged semata dianggap tari cabul. Maka penarinya pun dianggap pelacur. Manda yang berguru pada istri keempat ayahnya, Jero Jempiring, mendirikan sekaa tari joged, berusaha menempatkan kembali joged pada seni yang terhormat, bukan cabul. Meski sempat sukses, Manda harus menutup sekaa itu karena tiga penarinya melacurkan diri.

Dalam perjalanan hidup, Manda yang hanya belajar menari, berkese-nian untuk partai. Dia jatuh cinta kepada lelaki aktivis dari kasta su-dra yang rendah. Cinta terlarang ini terjadi saat gejolak politik tengah tinggi di Bali. Novel ini lumayan memberi gambaran mengenai budaya Bali, termasuk struktur kasta dan kehidupan di dalam puri.

Entrok

Adapun kisah Entrok terbangun dari narasi dua perempuan yaitu Sumarni yang dipanggil Mami dan anaknya, Rahayu. Sedari kecil, Marni digambarkan sebagai perempuan yang ulet mengejar impiannya. Mimpi pertamanya kala bocah ialah memiliki entrok, pakaian dalam perempuan, agar ia nyaman saat berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari.

Impian Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar di Sing-get, sebuah dusun di Magetan, Jawa Timur, sangat tidak masuk akal di tahun 1950. Tapi Marni bergeming. Dia kukuh dengan cita-citanya meski semua orang tertawa. Dia berdoa seperti simbok (ibu)-nya, meminta kepada Mbah Ibu Bumi dan Bapak Langit di bawah pohon asem. Dia bekerja bersama simboknya di pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.

Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Lantas Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, Mami makin ulet bakulan (berdagang) dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang dengan bunga 10%.

Dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan nyaris tidak bisa apa-apa. Teja tidak bisa membela istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari polisi sampai lurah memoroti harta mereka. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan.

Kesibukan lain Teja cuma meniduri perempuan-perempuan yang bukanistrinya. Tapi Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Alasan Marni pragmatis. Jika Mami mau dicerai, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela.

Alhasil Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang dengan laba 10% juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk. Bahkan sampai Rahayu dewasa dan bersedia dimadu lelaki atas nama agama, dan Marni merasa sia-sia saat tua.

Serupa tapi tak sama

Dua penulis novel-novel itu memiliki latar belakang jurnalistik. Ayu Manda ditulis I Made Iwan Darmawan, lelaki yang pernah menjadi redaktur di sebuah harian di Bali. Adapun Entrok ditulis Okky Madasa-ri, perempuan yang pernah bekerja sebagai reporter koran di Jakarta.

Tokoh lelaki yang katanya paling cerdas di kedua novel itu digambarkan tidak berdaya. Raka Sindan pada novel Ayu Manda, aktivis yang katanya cerdas, nyatanya tidak pintar-pintar amat-terbaca dari dialog-dialog yang biasa saja-dan tidaksadar gender (hlm 257).

Amri Hasan pada novel Entrok, aktivis yang dikatakan tampan dan garang ketika bicara perlawanan atas kekerasan, nyatanya juga melakukan poligami, sebuah bentuk lain kekerasan yang kemudian halal atas nama agama. Pada Ayu Manda, perempuan dibuat membenci sesama perempuan ketika mempersaingkan kehormatan yang dibawa oleh lelaki.

Artinya, perempuan itu menjadi terhormat karena lelaki yang dinikahi, atau karena siapa ayahnya, bukan karena upayanya sendiri menjadi terhormat sebagai manusia. Ayu Manda menjadi kisah bagaimana perempuan menghadapi feodalisme dan patriarki dengan bersaing sesama perempuan.

Adapun isu pluralisme telah muncul pada Entrok. Namun, yang paling kuat mewarnai kisah ini dari awal sampai akhir ialah tentang bagaimana perempuan menghadapi penindasan di balik baju negara bahkan agama, bahkan untuk melindungi haknya.

Setelah Teja mati, Mami didatangi Endang Sulastri, gendakan Teja yang meminta harta atas nama anak hasil hubungan gelapnya dengan Teja. Marni bersedia memelihara anak itu, tapi tidak relirhembagf+iarta urttuk Endang. Guna melindungi haknya, Marni bersedia diperas polisi untuk melancarkan tirusarirVy* (hlm 1%).

Marni yang tidak pernah kenal 6ekolah itu bisa sangat logis dalam tutur dan perilaku. Sekilas, terasa ada semangat penulisnya mendudukkan Mami seperti sosok Nyai Ontosoroh (Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer). "Ada banyak masalah sosial pada novel Entrok. Misalnya, perempuan yang hanya di dapur dan jauh dari ingar bingar politik. Meski makin tipis, fenomena ini masih ada," kata Guru Besar Filsafat Hmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno, saat peluncuran novel Entrok di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (15/4).

Jadi, selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia. Jika membaca novel ini, mungkin Anda bisa mengukur diri, sejauh mana perjuangan perempuan telah bergerak. Atau malah, Anda ialah Manda ataupun Marni di era baru, dalam tampilan lebih modem? (M-l)miweekend@mediaindonesia.com

Sabtu, 17 April 2010

Unveiling Sexuality and social insanity

by : Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Sunday 04/11/2010

There was a time when this country had an authoritarian leader who knew nothing but the accumulation of wealth and power to maintain control over society.

He used military and civilian personnel to intimidate the people for the sake of his family and cronies. So rampant and ruthless was the oppression that the people had no choice but to go along with the abusive ruler for their own safety.

Some of that very intimidation and oppression are vividly described in Okky Madasari's first novel, Entrok. From the pages, it is apparent that Okky, a journalist, seems to find more excitement in being a novelist than from her actual profession.

The novel begins with a kind of prologue describing a conversation between a woman and her mother who is emotionally unstable. The woman tries to comfort her mother, telling her that she will find a job - a permanent job at the state office - and find a man to marry her. She promises to live a normal life.

Her mother, who is going insane as a result of ongoing suffering, disappointment and frustration, does not respond but for a few mumbled words.

At this stage, we can only guess what this novel is really about. Is it about the psychological familial ties between a woman and her daughter? Or is it a complicated love story in which the woman does not find blessing to marry an unwanted man?

Readers won't be able to fully understand the novel until they finish reading it. In fact, this novel is more than simply a love story or a psychological drama. In a way, it can be seen as a historical journey through a country rife with oppression, poverty and sexuality wrapped in interpersonal relations that include family and social bonds.

Those complicated issues absurdly start from the vigorous endeavors of a blossoming girl who tries to purchase an entrok (bra), where the title is taken from.

They say the devil is in the detail, and the writer is fully aware that it is the details which serve as the selling point of this novel. So, she explores the detail - the bra and sexuality - and then expands it to the larger aspect of family conflict, social jealousy and eventually the relations of the state vis-as-vis the people.

At some points, I have to credit the prowess of the writer in putting some interesting descriptions. For this, I need to go into details.

Toward the beginning of the story, when Sumarni, the protagonist of the tale, talks to her uncle and auntie about her willingness to have a bra, she is laughed at and told that a bra is too expensive. Upset, Sumarni runs to a riverbank and bursts into tears.

"I cry and release my pain and anger to the riverbed. I see the river stream carry it away. Softly, I hear a call. I try to listen. There is a voice that I can't hear but I can only feel .." (p.20)

Also, there is an interesting part when Sumarni talks to Teja, a man who she later weds.

"I don't fully like Teja. In some ways, I hate Teja. I hate him for his patience and acceptance of his fate. I hate him for his powerlessness in changing his life. Does Teja never dream? Does he never dream of having gold and diamonds.?" (p.45)

Generally, this novel is well written, particularly when telling the story of Sumarni in her hometown of Singget. The writer explores details of events and locations where Sumarni lived making the past come alive.

But when it tells about the life of Sumarni's only daughter Rahayu, in Yogyakarta, her new life in Magelang and her activism in Kedung Merah, the writer seems to be a bit lost. Too some extent, the suspense is declines. Most probably because Okky writes a few real incidents, such as the Borobudur bombing and conflict over the construction of Kedung Ombo, into the storyline.

The infamous bombing and dam project fail to strengthen the storyline but rather weaken it.

Overall, this is a good read. This novel will serve as a reminder for the readers that there is an episode in the country's history when authoritarian rule was so rampant and only caused misery among the people. For the younger generation, it can serve as a reference on gender, equality and pluralism.

* This novel is available at major bookstores. A book launch will be organized at Taman Ismail Marzuki on April 15.

ENTROK : SEBUAH NOVEL MULTIFASET

Oleh : Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno


Tak ada kriteria apapun untuk menilai kehebatan sebuah novel, yang oleh Bakhtin dan sejumlah pakar dunia dianggap sebagai genre yang sangat terbuka dan bebas. Tapi saya merasa pasti bahwa banyak pengamat dan ahli sastra yang akan setuju bahwa Entrok dapat dianggap sebagai novel klasik yang akan bertahan dalam ruang dan waktu. Semua aspeknya mengesankan, ceritanya kaya, penceritaan mengalir, tema-temanya kuat, dan memang sang pengarang ingin menyampaikan sesuatu dan banyak hal. Sebuah novel indah yang membuat seorang pengamat bingung memilih aspek apa yang akan difokusnya karena fasetnya begitu banyak. Sebagai novel sejarah, Entrok sangat menarik, tema feminisme dan alienasi, juga menarik, begitu pula masalah estetetik, bahasa, budaya dan masih banyak lagi yang lain. Entrok adalah novel yang "scriptoble" menurut istilah Roland Barthes, yang bisa mengilhamkan teks-teks baru di kepala pembacanya, yang makin dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan beragam.

Dalam hal narasi, Entrok memperlihatkan strategi yang diperhitungkan untuk mengikat pembaca dengan keingintahuan : dengan menyajikan episode terakhir di awal cerita di bawah judul bab yang wingit pula "Setelah Kematian". Pilihan episode momen pada momen-momen yang tepat membuat irama novel terasa riil dan wajar. Selain itu, penggunaan narator stereoskopis dan konsekuen. Dalam Entrok, kedua penutur "aku" relatif kuat dalam memperlihatkan perbedaan watak dan pandangan hidup melalui bahasa yang berbeda pula. Suara Marni polos, berani, nekad, kadang-kadang apologetik dan defensif, dan seperti umumnya orang desa, sangat ekspresif, kadang kasar. "Apa itu cinta? Prek! Cinta kan omongan kosong orang-orang zaman sekarang setelah nonton TV." (hal 114) katanya ketika berbicara tentang suaminya yang sering mengkhianatinya dengan seorang kledek. "Aku tidak minta pegat karena tidak mau semua yang sudah kumiliki ini dibagi dua. Kok enak banget. Semuanya ini aku yang kerja keras. Aku yang bertengkar saat orang-orang nagih. Dia dari dulu cuma nunut." Banyak sisipan kata Jawa yang memperkuat warna lokal. Sebaliknya, suara Rahayu, sang anak yang sudah mengenyam sekolah, lebih halus, kritis, lebih jarang disisipi kata Jawa, kecuali ketika ia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang dialami si ibu sebagai arus bawah sadar, memperlihatkan usahanya untuk memahami sang ibu.

Tokoh-tokohnya non-urban tersebut sangat menarik, karena khas; khususnya Marni yang telah disebutkan di atas. marni yang mulai bekerja sebagai kuli pembawa belanjaan ibu-ibu di pasar karena ingin memiliki entrok, kemudian meningkat menjadi bakul keliling, bakul duwit, menyewakan pikup, lalu berkat ketekunan dan tekad, serta prinsip hidupnya menjadi juragan tebu dan orang terkaya di Singget, desanya. Anaknya yang dibesarkan dalam kecukupan berkat keberhasilan finansial si ibu dapat bersekolah di GAMA, menjadi aktivis yang membela penduduk yang tanahnya tergusur akibat pembangunan sebuah waduk.

Ceritanya sederhana : perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini : tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama.

Novel ini adalah novel tentang perempuan (tapi perlu dibaca oleh lelaki yang ingin mawas diri), tepatnya perjuangan perempuan melawan kodrat, takdir, budaya, dan dirinya sendiri. Tema perempuan, yang sudah terlihat dari judul dan ilustrasinya, mencakup banyak subtema : hubungan ibu dan anak perempuannya, istri pertama dan madunya, hubungan suami istri, perempuan penggoda, perempuan sebagai pengusaha dan lain lain. Banyak sekali tema perempuan yang dapat digali dari novel ini.

Tema profesi jarang kita temukan dalam novel-novel Indonesia. Profesi khas dalam Entrok adalah bakul duwit yang mempuyai banyak sinonim negatif. Awam lebih suka menggunakan sinonimnya yang berkonotasi negatif : rentenir, lintah darat dengan sederetan perifrase yang tak sedap, seperti "tukang bikin sengsara orang susah". Yang menarik adalah tema rentenir tersebut dibaca dari kacamata si rentenir sendiri, Marni. Baginya, rentenir bukan pekerjaan yang salah atau dosa, tetapi pekerjaan yang dibutuhkan dan sangat membantu orang lain. Ia mulai ketika seorang tetangga membutuhkan uang karena anaknya sakit dan menawarkan sendiri memberi bunga. Selanjutnya Marni mempromosikan dagangannya dengan "menawarkan pinjaman uang pada semua orang sebagaimana dia menawarkan dagangan" (hal 69). Dalam novel ini, seorang bakul duwit profesional menuntut kualitas tertentu : harus mempunyai ketegaran, telinga tebal, keyakinan, disiplin, seperti pekerjaan lain. "Saya kan potang ke orang susah, mbantu orang yang lagi butuh, mereka nyicil sedikit-sedikit. Satus repes sehari. Nggak bisa ditagih sakpenake dewe." (hal 79). Bekerja merupakan hal yang sangat dihayati oleh tokoh utama novel ini, Marni.

Tema politik berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang makin lama makin cenderung pada militer, membuat militer makin lama berkuasa dan merajalela, apalagi setelah PKI dihancurkan. Keputusan seorang lurah bahkan dapat dinisbikan oleh seorang komandan militer yang wajarnya tak mempunyai kaitan dengan urusan kependudukan. Rakyat kecil benar-benar ditekan. Marni harus menyetor uang secara teratur untuk "keamanan", untuk pemilu, untuk kecelakaan pikupnya. karena tak sengaja "kentut" tukang becak disiksa direndam di tengah malam yang dingin dan dibunuh ketika peristiwa itu muncul di koran. Tentu saja pelapor dan wartawannya dihukum langsung oleh instansi masing-masing tanpa diadili. Dan dengan mudah setiap orang dicap PKI dan dijebloskan ke penjara. Pemerintah yang sewenang-wenang menghasilkan pembangkang dan terorisme. Peledakan stupa Borobudur, pembangkangan pada pembangunan waduk disajikan dalam novel ini dari mata rakyat kecil. Setiap bab yang disertai keterangan tahun dalam novel ini merujuk pada suatu peristiwa politik penting yang memang terjadi di Indonesia. Waktu cerita merentang dari 1950 sampai 1999.

Tema agama dan kepercayaan yang kaya dalam novel ini antara lain menampilkan tokoh Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, rajin membuat tumpeng panggang yang diletakkan di bawah pohon asam. Animisme Marni mewakili penduduk desa yang melakukan hal sama, termasuk festival "temanten tebu" yang diselenggarakan pabrik gula Purwodadi. di lain pihak, Koh Cayadi dan keluarganya pergi ke kelenteng. Dan Rahayu yang belajar agama Islam tentu saja menentang si ibu yang dianggap murtad. Sumber konflik ibu dan anak antara lain terletak pada masalah tersebut. Namun Rahayu yang kritis juga melihat kemunafikan guru agamanya, Pak Waji. Ia tahu sang guru tak mau membayar utang yang cukup besar pada ibunya tetapi tak malu menjelekkan ibu dan dirinya di depan kelas. Sebuah perbuatan tercela dalam dunia pendidikan dan agama. Sebuah kritik sosial yang tajam. Masih masuk lagi masalah pesugihan : Marni diajak Cayadi ke Gunung Kawi mencari ilham untuk mengembangkan usaha. Dia tidak tahu bahwa kunjungannya yang singkat ke Gunung Kawi di kemudian hari mengakibatkan masalah besar : penduduk Singget mengira dia mencari tumbal, mengorbankan manusia untuk mendapat kekayaan. Orang menjauhi dirinya secara terang-terangan.

Mengingat usia pengarang yang masih muda, darinya bisa diharapkan akan lahir novel-novel yang lebih hebat. Dia bisa menjadi Pramoedya kedua.


* Apsanti Djokosujatno adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia