Minggu, 25 April 2010

Perbedaan Itu Merupakan Kekayaan

Suara Pembaruan, 21 April 2010

[JAKARTA] Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya dan memanjatkan harapannya. Tak pernah ia mengenal Tuhan dan dengan caranya sendiri ia mempertahankan hidup. Rahayu, anak Marni, generasi yang dibentuk oleh pendidikan dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama yang taat dan selalu melawan budaya leluhur.

Diawali dengan latar belakang sebuah desa di Magetan, Jawa Timur, kisah mengenai perbedaan pandangan dalam menjalani hidup seperti cuplikan cerita di atas disajikan secara jelas dalam novel bertajuk Entrok karya penulis muda, Okky Madasari. Budaya pedesaan pun digambarkan dalam novel ini, termasuk kata-kata dan kalimat yang apa adanya.

“Ini adalah salah satu novel yang memiliki nilai dokumenter dengan tema estetik dan kebudayaan yang menarik. Seperti tari ledek yang menjadi ciri tarian khas Magetan. Novel ini juga dapat memberikan kata-kata baru bagi pembacanya, karena penulis manyajikan kata-kata apa adanya, seperti nunut, yang dalam bahasa Indonesia berarti menumpang,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Apsanti Djokosujanto pada peluncuran dan diskusi novel Entrok di Jakarta, baru-baru ini.

Potret Realitas Hidup
Konflik dalam novel ini terjadi antara seorang ibu dan anak yang memiliki pandangan berbeda mengenai keyakinannya. Judul Entrok yang memiliki arti kutang atau pakaian dalam wanita ini bercerita tentang bagaimana seorang perempuan mempertahankan keyakinannya.

“Cerita Entrok sangat relevan dengan kondisi saat ini yang mana banyak kita liat konflik yang berlatar belakang agama, orang yang berbeda keyakinan saling merusak dan bermusuhan. Dan sebenarnya, konteks keberagaman sudah ada di Indonesia sejak zaman dulu, semoga dengan novel ini membuat kita sadar bahwa perbedaan adalah sebuah kekayaan,” ujar Okky Madasari menambahkan.

Sementara itu, Aktivis Demokrasi dan HAM Hendardi berpendapat, novel ini lahir dari kegelisahan dan merupakan potret realitas hidup walaupun setting ceritanya terjadi pada tahun 1960, namun praktik-praktik ketidakadilan yang dikisahkan masih terjadi hingga saat ini, seperti stigmatisasi dan pelabelan atas status seseorang.

Peluncuran dan diskusi buku ini juga menampilkan narasumber dari intelektual Muslim, Ulil Abshar Abdalla yang mengemukakan, novel itu mengenalkan kembali kultur abangan atau kekuatan corak keagamaan kejawen ke permukaan, contohnya dalam satu keluarga, namun terdiri dari beberapa agama. Novel ini juga memiliki nilai-nilai toleransi ketimbang nilai agama yang ada di Indonesia. Di dalam novel itu, yang menerima pandangan yang berbeda, secara legawa diwakilkan oleh tokoh Marni. [L-13]

Minggu, 18 April 2010

Pelajaran dari "Entrok"

Kompas, 18 April 2010

Gramedia menerbitkan novel terbaru berjudul Entrok karya Okky Madasari. Novel ini berkisah tentang seorang ibu dan anaknya yang hidup di alam pemikiran sangat berbeda. Sumarni, sang ibu, adalah perempuan Jawa, tidak berpendidikan, dan masih menyembah leluhur. Anaknya, Rahayu, generasi muda yang dibentuk sekolah, penjunjung akal sehat, dan pemeluk agama Tuhan yang taat.

Perbedaan itu membuat keduanya merasa asing satu sama lain. Sumarni menganggap anaknya tidak punya jiwa. Rahayu menganggap ibunya sang pendosa.

Kisah ini ditempatkan dalam ¬setting masyarakat Jawa abangan tahun 1950-1994—sebuah kurun waktu yang melintasi dua rezim pemerintahan: Orla dan Orba. Dengan begitu, penulis leluasa mengalirkan kisah Sumarni-Rahayu di antara gelombang peristiwa politik besar yang muncul saat itu, mulai dari pemberontakan PKI, pemaksaan memilih Golkar di setiap pemilu, penembakan misterius, pelarangan terhadap pemeluk kepercayaan, pemaksaan ber-KB, peristiwa Kedung Ombo, hingga pelabelan politik.

Tidak berhenti sebatas kisah, novel ini juga memaksa pembaca masuk ke dalam tema-tema besar, mulai dari feminisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM. Inilah yang membuat Entrok memiliki daya pikat, terlebih, Okky bisa meramu semua itu dengan teknik bercerita yang mengalir. (BSW)

DUA FIKSI PEREMPUAN DI BULAN KARTINI

Oleh : Sica Harum Wibowo, Media Indonesia, 17 April 2010


Masih bicara mengenai poligami, pluralisme, feodalisme, dan patriarki yang melahirkan kekerasan bagi perempuan.

SETIDAKNYA ada dua novel perempuan yang hadir di bulan April ini. Yakni, Ayu Mando dan Entrok. Keduanya berkisah tentang kehidupan perempuan menghadapi poligami, pluralisme, juga kekerasan. Ayu Manda ialah putri bangsawan yang dibesarkan menjadi penari. Ia hidup di awal 1960-an. Sedari kecil, putri dari istri utama di Puri Mundak Sungkal itu sudah memendam kemarahan karena ayahnya memperistri tiga perempuan lain selain ibunya.

Sebagai putri dari istri pertama Gusti Ngurah Amba, Manda kecil menempatkan diri sebagai pembela kehormatan ibunya. Dia tahu, tanpa anak laki-laki, Manda dan ibunya tidak punya posisi. Maka ia mulai bersaing dan mengenali intrik-intrik di puri dengan alami, terutama ketika ia menari ke Eropa bersama dengan perempuan sebaya yang ternyata saudara satu ayah. Permusuhan ini bertahan sampai mereka dewasa, bahkan ketika puri bangkrut.

Manda juga penari joged yang populer berkat dasar-dasar tari le-gong yang ia miliki. Saat itu, tarian joged semata dianggap tari cabul. Maka penarinya pun dianggap pelacur. Manda yang berguru pada istri keempat ayahnya, Jero Jempiring, mendirikan sekaa tari joged, berusaha menempatkan kembali joged pada seni yang terhormat, bukan cabul. Meski sempat sukses, Manda harus menutup sekaa itu karena tiga penarinya melacurkan diri.

Dalam perjalanan hidup, Manda yang hanya belajar menari, berkese-nian untuk partai. Dia jatuh cinta kepada lelaki aktivis dari kasta su-dra yang rendah. Cinta terlarang ini terjadi saat gejolak politik tengah tinggi di Bali. Novel ini lumayan memberi gambaran mengenai budaya Bali, termasuk struktur kasta dan kehidupan di dalam puri.

Entrok

Adapun kisah Entrok terbangun dari narasi dua perempuan yaitu Sumarni yang dipanggil Mami dan anaknya, Rahayu. Sedari kecil, Marni digambarkan sebagai perempuan yang ulet mengejar impiannya. Mimpi pertamanya kala bocah ialah memiliki entrok, pakaian dalam perempuan, agar ia nyaman saat berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari.

Impian Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar di Sing-get, sebuah dusun di Magetan, Jawa Timur, sangat tidak masuk akal di tahun 1950. Tapi Marni bergeming. Dia kukuh dengan cita-citanya meski semua orang tertawa. Dia berdoa seperti simbok (ibu)-nya, meminta kepada Mbah Ibu Bumi dan Bapak Langit di bawah pohon asem. Dia bekerja bersama simboknya di pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.

Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Lantas Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, Mami makin ulet bakulan (berdagang) dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang dengan bunga 10%.

Dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan nyaris tidak bisa apa-apa. Teja tidak bisa membela istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari polisi sampai lurah memoroti harta mereka. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan.

Kesibukan lain Teja cuma meniduri perempuan-perempuan yang bukanistrinya. Tapi Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Alasan Marni pragmatis. Jika Mami mau dicerai, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela.

Alhasil Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang dengan laba 10% juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk. Bahkan sampai Rahayu dewasa dan bersedia dimadu lelaki atas nama agama, dan Marni merasa sia-sia saat tua.

Serupa tapi tak sama

Dua penulis novel-novel itu memiliki latar belakang jurnalistik. Ayu Manda ditulis I Made Iwan Darmawan, lelaki yang pernah menjadi redaktur di sebuah harian di Bali. Adapun Entrok ditulis Okky Madasa-ri, perempuan yang pernah bekerja sebagai reporter koran di Jakarta.

Tokoh lelaki yang katanya paling cerdas di kedua novel itu digambarkan tidak berdaya. Raka Sindan pada novel Ayu Manda, aktivis yang katanya cerdas, nyatanya tidak pintar-pintar amat-terbaca dari dialog-dialog yang biasa saja-dan tidaksadar gender (hlm 257).

Amri Hasan pada novel Entrok, aktivis yang dikatakan tampan dan garang ketika bicara perlawanan atas kekerasan, nyatanya juga melakukan poligami, sebuah bentuk lain kekerasan yang kemudian halal atas nama agama. Pada Ayu Manda, perempuan dibuat membenci sesama perempuan ketika mempersaingkan kehormatan yang dibawa oleh lelaki.

Artinya, perempuan itu menjadi terhormat karena lelaki yang dinikahi, atau karena siapa ayahnya, bukan karena upayanya sendiri menjadi terhormat sebagai manusia. Ayu Manda menjadi kisah bagaimana perempuan menghadapi feodalisme dan patriarki dengan bersaing sesama perempuan.

Adapun isu pluralisme telah muncul pada Entrok. Namun, yang paling kuat mewarnai kisah ini dari awal sampai akhir ialah tentang bagaimana perempuan menghadapi penindasan di balik baju negara bahkan agama, bahkan untuk melindungi haknya.

Setelah Teja mati, Mami didatangi Endang Sulastri, gendakan Teja yang meminta harta atas nama anak hasil hubungan gelapnya dengan Teja. Marni bersedia memelihara anak itu, tapi tidak relirhembagf+iarta urttuk Endang. Guna melindungi haknya, Marni bersedia diperas polisi untuk melancarkan tirusarirVy* (hlm 1%).

Marni yang tidak pernah kenal 6ekolah itu bisa sangat logis dalam tutur dan perilaku. Sekilas, terasa ada semangat penulisnya mendudukkan Mami seperti sosok Nyai Ontosoroh (Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer). "Ada banyak masalah sosial pada novel Entrok. Misalnya, perempuan yang hanya di dapur dan jauh dari ingar bingar politik. Meski makin tipis, fenomena ini masih ada," kata Guru Besar Filsafat Hmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno, saat peluncuran novel Entrok di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (15/4).

Jadi, selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia. Jika membaca novel ini, mungkin Anda bisa mengukur diri, sejauh mana perjuangan perempuan telah bergerak. Atau malah, Anda ialah Manda ataupun Marni di era baru, dalam tampilan lebih modem? (M-l)miweekend@mediaindonesia.com

Sabtu, 17 April 2010

Unveiling Sexuality and social insanity

by : Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Sunday 04/11/2010

There was a time when this country had an authoritarian leader who knew nothing but the accumulation of wealth and power to maintain control over society.

He used military and civilian personnel to intimidate the people for the sake of his family and cronies. So rampant and ruthless was the oppression that the people had no choice but to go along with the abusive ruler for their own safety.

Some of that very intimidation and oppression are vividly described in Okky Madasari's first novel, Entrok. From the pages, it is apparent that Okky, a journalist, seems to find more excitement in being a novelist than from her actual profession.

The novel begins with a kind of prologue describing a conversation between a woman and her mother who is emotionally unstable. The woman tries to comfort her mother, telling her that she will find a job - a permanent job at the state office - and find a man to marry her. She promises to live a normal life.

Her mother, who is going insane as a result of ongoing suffering, disappointment and frustration, does not respond but for a few mumbled words.

At this stage, we can only guess what this novel is really about. Is it about the psychological familial ties between a woman and her daughter? Or is it a complicated love story in which the woman does not find blessing to marry an unwanted man?

Readers won't be able to fully understand the novel until they finish reading it. In fact, this novel is more than simply a love story or a psychological drama. In a way, it can be seen as a historical journey through a country rife with oppression, poverty and sexuality wrapped in interpersonal relations that include family and social bonds.

Those complicated issues absurdly start from the vigorous endeavors of a blossoming girl who tries to purchase an entrok (bra), where the title is taken from.

They say the devil is in the detail, and the writer is fully aware that it is the details which serve as the selling point of this novel. So, she explores the detail - the bra and sexuality - and then expands it to the larger aspect of family conflict, social jealousy and eventually the relations of the state vis-as-vis the people.

At some points, I have to credit the prowess of the writer in putting some interesting descriptions. For this, I need to go into details.

Toward the beginning of the story, when Sumarni, the protagonist of the tale, talks to her uncle and auntie about her willingness to have a bra, she is laughed at and told that a bra is too expensive. Upset, Sumarni runs to a riverbank and bursts into tears.

"I cry and release my pain and anger to the riverbed. I see the river stream carry it away. Softly, I hear a call. I try to listen. There is a voice that I can't hear but I can only feel .." (p.20)

Also, there is an interesting part when Sumarni talks to Teja, a man who she later weds.

"I don't fully like Teja. In some ways, I hate Teja. I hate him for his patience and acceptance of his fate. I hate him for his powerlessness in changing his life. Does Teja never dream? Does he never dream of having gold and diamonds.?" (p.45)

Generally, this novel is well written, particularly when telling the story of Sumarni in her hometown of Singget. The writer explores details of events and locations where Sumarni lived making the past come alive.

But when it tells about the life of Sumarni's only daughter Rahayu, in Yogyakarta, her new life in Magelang and her activism in Kedung Merah, the writer seems to be a bit lost. Too some extent, the suspense is declines. Most probably because Okky writes a few real incidents, such as the Borobudur bombing and conflict over the construction of Kedung Ombo, into the storyline.

The infamous bombing and dam project fail to strengthen the storyline but rather weaken it.

Overall, this is a good read. This novel will serve as a reminder for the readers that there is an episode in the country's history when authoritarian rule was so rampant and only caused misery among the people. For the younger generation, it can serve as a reference on gender, equality and pluralism.

* This novel is available at major bookstores. A book launch will be organized at Taman Ismail Marzuki on April 15.

ENTROK : SEBUAH NOVEL MULTIFASET

Oleh : Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno


Tak ada kriteria apapun untuk menilai kehebatan sebuah novel, yang oleh Bakhtin dan sejumlah pakar dunia dianggap sebagai genre yang sangat terbuka dan bebas. Tapi saya merasa pasti bahwa banyak pengamat dan ahli sastra yang akan setuju bahwa Entrok dapat dianggap sebagai novel klasik yang akan bertahan dalam ruang dan waktu. Semua aspeknya mengesankan, ceritanya kaya, penceritaan mengalir, tema-temanya kuat, dan memang sang pengarang ingin menyampaikan sesuatu dan banyak hal. Sebuah novel indah yang membuat seorang pengamat bingung memilih aspek apa yang akan difokusnya karena fasetnya begitu banyak. Sebagai novel sejarah, Entrok sangat menarik, tema feminisme dan alienasi, juga menarik, begitu pula masalah estetetik, bahasa, budaya dan masih banyak lagi yang lain. Entrok adalah novel yang "scriptoble" menurut istilah Roland Barthes, yang bisa mengilhamkan teks-teks baru di kepala pembacanya, yang makin dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan beragam.

Dalam hal narasi, Entrok memperlihatkan strategi yang diperhitungkan untuk mengikat pembaca dengan keingintahuan : dengan menyajikan episode terakhir di awal cerita di bawah judul bab yang wingit pula "Setelah Kematian". Pilihan episode momen pada momen-momen yang tepat membuat irama novel terasa riil dan wajar. Selain itu, penggunaan narator stereoskopis dan konsekuen. Dalam Entrok, kedua penutur "aku" relatif kuat dalam memperlihatkan perbedaan watak dan pandangan hidup melalui bahasa yang berbeda pula. Suara Marni polos, berani, nekad, kadang-kadang apologetik dan defensif, dan seperti umumnya orang desa, sangat ekspresif, kadang kasar. "Apa itu cinta? Prek! Cinta kan omongan kosong orang-orang zaman sekarang setelah nonton TV." (hal 114) katanya ketika berbicara tentang suaminya yang sering mengkhianatinya dengan seorang kledek. "Aku tidak minta pegat karena tidak mau semua yang sudah kumiliki ini dibagi dua. Kok enak banget. Semuanya ini aku yang kerja keras. Aku yang bertengkar saat orang-orang nagih. Dia dari dulu cuma nunut." Banyak sisipan kata Jawa yang memperkuat warna lokal. Sebaliknya, suara Rahayu, sang anak yang sudah mengenyam sekolah, lebih halus, kritis, lebih jarang disisipi kata Jawa, kecuali ketika ia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang dialami si ibu sebagai arus bawah sadar, memperlihatkan usahanya untuk memahami sang ibu.

Tokoh-tokohnya non-urban tersebut sangat menarik, karena khas; khususnya Marni yang telah disebutkan di atas. marni yang mulai bekerja sebagai kuli pembawa belanjaan ibu-ibu di pasar karena ingin memiliki entrok, kemudian meningkat menjadi bakul keliling, bakul duwit, menyewakan pikup, lalu berkat ketekunan dan tekad, serta prinsip hidupnya menjadi juragan tebu dan orang terkaya di Singget, desanya. Anaknya yang dibesarkan dalam kecukupan berkat keberhasilan finansial si ibu dapat bersekolah di GAMA, menjadi aktivis yang membela penduduk yang tanahnya tergusur akibat pembangunan sebuah waduk.

Ceritanya sederhana : perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini : tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama.

Novel ini adalah novel tentang perempuan (tapi perlu dibaca oleh lelaki yang ingin mawas diri), tepatnya perjuangan perempuan melawan kodrat, takdir, budaya, dan dirinya sendiri. Tema perempuan, yang sudah terlihat dari judul dan ilustrasinya, mencakup banyak subtema : hubungan ibu dan anak perempuannya, istri pertama dan madunya, hubungan suami istri, perempuan penggoda, perempuan sebagai pengusaha dan lain lain. Banyak sekali tema perempuan yang dapat digali dari novel ini.

Tema profesi jarang kita temukan dalam novel-novel Indonesia. Profesi khas dalam Entrok adalah bakul duwit yang mempuyai banyak sinonim negatif. Awam lebih suka menggunakan sinonimnya yang berkonotasi negatif : rentenir, lintah darat dengan sederetan perifrase yang tak sedap, seperti "tukang bikin sengsara orang susah". Yang menarik adalah tema rentenir tersebut dibaca dari kacamata si rentenir sendiri, Marni. Baginya, rentenir bukan pekerjaan yang salah atau dosa, tetapi pekerjaan yang dibutuhkan dan sangat membantu orang lain. Ia mulai ketika seorang tetangga membutuhkan uang karena anaknya sakit dan menawarkan sendiri memberi bunga. Selanjutnya Marni mempromosikan dagangannya dengan "menawarkan pinjaman uang pada semua orang sebagaimana dia menawarkan dagangan" (hal 69). Dalam novel ini, seorang bakul duwit profesional menuntut kualitas tertentu : harus mempunyai ketegaran, telinga tebal, keyakinan, disiplin, seperti pekerjaan lain. "Saya kan potang ke orang susah, mbantu orang yang lagi butuh, mereka nyicil sedikit-sedikit. Satus repes sehari. Nggak bisa ditagih sakpenake dewe." (hal 79). Bekerja merupakan hal yang sangat dihayati oleh tokoh utama novel ini, Marni.

Tema politik berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang makin lama makin cenderung pada militer, membuat militer makin lama berkuasa dan merajalela, apalagi setelah PKI dihancurkan. Keputusan seorang lurah bahkan dapat dinisbikan oleh seorang komandan militer yang wajarnya tak mempunyai kaitan dengan urusan kependudukan. Rakyat kecil benar-benar ditekan. Marni harus menyetor uang secara teratur untuk "keamanan", untuk pemilu, untuk kecelakaan pikupnya. karena tak sengaja "kentut" tukang becak disiksa direndam di tengah malam yang dingin dan dibunuh ketika peristiwa itu muncul di koran. Tentu saja pelapor dan wartawannya dihukum langsung oleh instansi masing-masing tanpa diadili. Dan dengan mudah setiap orang dicap PKI dan dijebloskan ke penjara. Pemerintah yang sewenang-wenang menghasilkan pembangkang dan terorisme. Peledakan stupa Borobudur, pembangkangan pada pembangunan waduk disajikan dalam novel ini dari mata rakyat kecil. Setiap bab yang disertai keterangan tahun dalam novel ini merujuk pada suatu peristiwa politik penting yang memang terjadi di Indonesia. Waktu cerita merentang dari 1950 sampai 1999.

Tema agama dan kepercayaan yang kaya dalam novel ini antara lain menampilkan tokoh Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, rajin membuat tumpeng panggang yang diletakkan di bawah pohon asam. Animisme Marni mewakili penduduk desa yang melakukan hal sama, termasuk festival "temanten tebu" yang diselenggarakan pabrik gula Purwodadi. di lain pihak, Koh Cayadi dan keluarganya pergi ke kelenteng. Dan Rahayu yang belajar agama Islam tentu saja menentang si ibu yang dianggap murtad. Sumber konflik ibu dan anak antara lain terletak pada masalah tersebut. Namun Rahayu yang kritis juga melihat kemunafikan guru agamanya, Pak Waji. Ia tahu sang guru tak mau membayar utang yang cukup besar pada ibunya tetapi tak malu menjelekkan ibu dan dirinya di depan kelas. Sebuah perbuatan tercela dalam dunia pendidikan dan agama. Sebuah kritik sosial yang tajam. Masih masuk lagi masalah pesugihan : Marni diajak Cayadi ke Gunung Kawi mencari ilham untuk mengembangkan usaha. Dia tidak tahu bahwa kunjungannya yang singkat ke Gunung Kawi di kemudian hari mengakibatkan masalah besar : penduduk Singget mengira dia mencari tumbal, mengorbankan manusia untuk mendapat kekayaan. Orang menjauhi dirinya secara terang-terangan.

Mengingat usia pengarang yang masih muda, darinya bisa diharapkan akan lahir novel-novel yang lebih hebat. Dia bisa menjadi Pramoedya kedua.


* Apsanti Djokosujatno adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia