Sabtu, 30 Oktober 2010

Bermula dari Entrok

Oleh : Khrisna Pabichara


PERNAHKAH Anda sekejap saja membayangkan bagaimana “nikmatnya” ditindas, diperas, dan “digagahi” oleh rezim diktator? Sudikah Anda menjadi bulan-bulanan gosip, ditikam dari belakang, atau dituduh melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan? Tahukah Anda betapa mengerikan hidup di tengah masyarakat yang hukumnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa?

Entrok, novel ajib anggitan Okky Madasari, akan menemani Anda dalam perjalanan psikologis yang mengaduk-aduk perasaan—lebih tepatnya memilin-milin ulu hati—dan membabar buramnya perjalanan negara dalam “memesrai” warganya. Pembantaian yang terlupakan, penculikan yang terabaikan, bahkan perkosaan missal atas nama “perubahan” menjadi mozaik yang membuat Entrok lebih bernas. Belum lagi pergulatan batin lewat “perang saudara” antara Sumarni dan putrinya yang ialah pemindahan kenyataan menyehari ke dalam keindahan prosa—lebih tepatnya pertarungan antara yang bodoh melawan yang pintar, antara yang tertinggal dengan yang modern—melalui alur waktu yang jumpalitan tanpa harus kehilangan daya pikat estetisnya.

Begitulah. Alih-alih berkeras mendaras sejarah, pengarang muda kelahiran Magetan ini malah menyajikan dampak peristiwa sejarah bagi warga negara yang tak bisa apa-apa, tak pernah berniat macam-macam, tapi terus-menerus menjadi korban atau akibat dari sebab yang tidak dia lakukan.

Potret Sejarah atau Potret Muram?

Damhuri Muhammad menyatakan, sejarah adalah “dunia sesungguhnya” sementara sastra adalah “dunia seandainya”.[1] Pada konteks ini, tegas Damhuri, sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistimologis (benar-salah, terjadi atau tak terjadi) sedangkan teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi.

Di sinilah Entrok bisa didudukkan dengan benderang bahwa, ia tetaplah karya sastra dengan berbagai capaian estetika dan bukan kepastian sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Entrok adalah dunia seandainya, bukan dunia nyata—meskipun ada kemungkinan dibangun dari “kenyataan”. Di sini pula saya bersepakat dengan Radhar Panca Dahana bahwa, sejarah sudah memberi kita banyak tragedi.[2] Karena itu, kita harus banyak belajar darinya.

Bertolak dari sana, kita akan mendapati kecerdasan Okky dalam mendaraskan pikiran dan perasaannya. Dia tidak bermain di wilayah “buram” peristiwa berdarah, G 30 S/PKI. Dia meliuk-liuk di areal akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa berdarah itu. Bayangkan, alangkah perihnya kehidupan ketika antek-antek negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung, malah berdiri sebagai lawan yang begitu leluasa mengintimidasi, menekan, bahkan “memperkosa” hak asasi rakyatnya.

Melalui tokoh Sumarni, Okky bertutur ihwal perempuan yang berhasrat keluar dari perangkap kemiskinan. Bermula dari gairah sederhana memiliki entrok (kutang) seperti Tinah, sepupunya, agar dadanya nyaman saat berlari atau melompat. Dari sana hidupnya berubah. Sumarni menjadi perempuan pertama yang mendobrak kemapanan—dewasa itu, kuli identik sebagai profesi kaum laki-laki—menjadi kuli angkut di Pasar Ngranget. Perlahan Sumarni mampu melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Pada mulanya dia membeli televisi yang tak semua orang di kampungnya memilikinya, hingga yang paling membanggakan: membeli tanah berhektar-hektar dan perkebunan tebu. Semua bermula dari entrok.

Terceritakan pula ihwal bagaimana Sumarni jadi bulan-bulanan tentara, polisi, dan pejabat “negara” di kampungnya;. harus menyiapkan upeti setiap empat belas hari bagi tentara; menyetor “sumbangan wajib” bagi kampanye partai yang harus didukungnya; dan menyerahkan “bayaran” bagi polisi agar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Bejo, supirnya, bisa diselesaikan tanpa harus meringkuk di penjara atas tuduhan “melawan hukum”. Belum lagi teror warga sekampung: tudingan tidak beragama, pesugihan, pemelihara tuyul, dan gunjingan lain yang memerahkan kuping.

Lewat tokoh Rahayu, Okky menghadirkan wajah perempuan masa kini yang lebih berpendidikan. Pertarungan batinnya bermula dari kebiasaan ibunya, Sumarni, menyediakan sesaji bagi sesembahannya—yang bukan Allah—Rahayu mengobarkan perlawanan dengan cara yang ekstrem. Sampai akhirnya dia tinggalkan “kejahiliyahan” orangtuanya dan memilih kuliah di Jogjakarta. Perlawanan belum bersudah. Dia langgar kelaziman di kampungnya dengan bersuamikan lelaki yang sudah beranak-beristri. Akan tetapi, akhirnya Rahayu pun bergelimang derita: dipenjara karena keterlibatannya membela tanah para korban penggusuran.

Sungguh. Seolah tak hendak bersudah, Okky juga menciptakan tokoh Ndari—bocah kelas enam SD yang jadi korban perkosaan pamannya dan ditugaskan ayahnya untuk menjajakan tubuhnya bagi tentara-tentara “penjaga keamanan” demi kemungkinan tanahnya terbebaskan. Perempuan-perempuan tak bahagia. Betapa!

Demokrasi Minus Nurani

Apa yang dilakukan alumni Jurusan Hubungan Internasional UGM ini, sejatinya, adalah upaya untuk menggugah kesadaran kolektif rakyat Indonesia agar lebih berani berharap kembali bahwa, akhirnya, negeri ini harus diselenggarakan sebagaimana layaknya negara yang beradab. Suatu negara di mana pejabat betul-betul pelayan bagi rakyat; militer tidak berada di atas hukum; wakil rakyat benar-benar perpanjangan lidah rakyat; lapangan pekerjaan menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bekerja; pendidikan dan layanan kesehatan terjangkau bagi semua; pun harapan-harapan lain yang tak terhingga.

Dalam konteks ini, keberadaan Entrok bukan sekadar teks sastra, tapi sekaligus “kitab” berisi “ayat-ayat inspiratif” agar kita bangkit dari kematirasaan psikis (psychic numbing), penyakit yang kita derita akibat teror bertubi-tubi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama—seperti nasib Sumarni, Rahayu atau Ndari. Kematirasaan psikis pemicu kebangkrutan jiwa yang membuat manusia siap untuk menerima dan membiarkan segala macam kebejatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci, seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap atau mati suri. Ini dampak lain dari atmosfer refresif rezim Orde Baru. Filsuf Kierkegaard menyebut kondisi seperti ini sebagai the corruption of the will yang bisa meluluhlantakkan semangat, bahkan kemanusiaan itu sendiri.[3] Artinya, di tangan kitalah terletak ihwal menciptakan iklim berdemokrasi yang berulu pada nurani.

Pada akhirnya, upaya serius Okky untuk memindahkan peristiwa ke dalam cerita adalah lelaku estetik yang layak mendapat acungan jempol. Dia seorang “juru kabar” yang dengan cergas mengabarkan rentetan kemalangan dan ketakbahagiaan yang dialami banyak rakyat di negeri tercinta ini. Dia mengusung pelbagai kritik dengan cara yang samar, santun, dan menyentuh. Dia menyuguhkan langgam penceritaan yang khas, walaupun bukan sesuatu yang baru di ranah kesusastraan kita.

Dan, semoga Entrok bukan awal yang merangkap sebagai akhir. Semoga! []



[1] Damhuri Muhammad (2010). Romantika Pasca-Enam Lima dalam Darah-Daging Sastra Indonesia. Jalasutra.

[2] Radhar Panca Dahana (2007). Keserakahan Intelektual dalam Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia. Resist Book.

[3] A. Malik Giswar (2010). Kewarganegaraan dan Kebangsaan Pasca-Mei 1998 dalam Revolusi Setengah Matang. Hikmah (Mizan Grup).


Bogor, September 2010

Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra. Tiga cerpennya dimuat di Kolecer & Hari Raya Hantu (SPT, 2010). Buku terbarunya, Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010).


Minggu, 24 Oktober 2010

Antara Kutang, Dewa-Dewa, dan Kesewenang-wenangan Penguasa

Dari sepotong pengalaman hidup neneknya, Okky Madasari berhasil menciptakan novel yang memukau banyak orang.


Banjir pujian. Itulah yang terjadi pada acara eve’s Book Club pada awal Mei lalu di Kedai 3 Nyonya, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Yang didiskusikan adalah novel Entrok karya Okky Madasari, sarjana ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mantan wartawan yang kini menjadi dosen. Entrok, yang artinya ‘BH’, ‘kutang’, atau ‘bra’, adalah novel pertamanya.

Kisahnya digulirkan lewat konflik ibu dan anak yang memiliki keyakinan berbeda. Marni, sang ibu yang buta huruf, adalah seorang pemuja leluhur. Dia memuja dewa-dewa dan memanjatkan harapannya melalui perantara sesajen. Marni tak pernah mengenal Tuhan seperti yang disembah anaknya, Rahayu, yang telah mengenyam pendidikan di sekolah dan pemeluk agama Tuhan yang taat. Bagi Marni, Rahayu adalah sosok anak yang tak punya perasaan. Sementara itu, Marni bagi Rahayu adalah sosok perempuan yang berlumur dosa. Namun, keduanya akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama menjadi korban dari pemegang kekuasaan yang ugal-ugalan.

“Tema besar buku ini adalah soal pluralisme, bagaimana kita bisa saling toleran kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, orang-orang yang memiliki prinsip berbeda, cara pandangan hidup yang berbeda. Selain itu juga tentang penggambaran pada era Orde Baru, ketika kesewenang-wenangan begitu marak terjadi. Dan, itu kerap dilupakan oleh generasi-generasi saat ini. Mereka tidak sadar bahwa hal-hal serupa masih terjadi saat ini, bentuknya hampir-hampir mirip dengan masa lalu. Jadi, mungkin itu yang bisa diambil dari buku ini,” ujar Okky membuka pembicaraan ketika ditanyai oleh Syahmedi Dean, moderator, tentang tema novelnya.

Soal pemilihan umum pada masa setelah Orde Baru, misalnya, tambah Okky, masih menyisakan pertanyakan apakah sudah ada adil atau tidak. Begitu pula dengan maraknya penggusuran sekarang ini yang mirip dengan masa Orde Baru.

Persoalan yang melanda Marni dan Rahayu pun, menurut Okky, justru semakin mengemuka belakangan ini. “Ketika pendidikan semakin maju, pengetahuan dan informasi semakin banyak, soal-soal perbedaan semacam itu semakin mengemuka. Masing-masing orang punya alasan untuk mempertahankan keyakinannya. Masing-masing orang punya alasan untuk seolah-seolah bisa menyalahkan keyakinan orang lain. Akhirnya banyak sekali kan permasalahan belakangan ini gara-gara orang berbeda keyakinan, berbeda agama. Jadi, justru saat ini persoalan semacam itu menjadi relevan untuk diingatkan lagi. Marni dan Rahayu hanya sampel kecil bahwa hal seperti itu sudah pernah terjadi di masa lalu. Kita tidak seharusnya mempersalahkan perbedaan keyakinan. Karena, pada setiap keyakinan orang pasti ada latar belakang yang melandasinya,” ungkap Okky.

Ketika ada peserta yang bertanya, apa yang mengilhami dirinya untuk menulis novel tersebut, Okky menjawab bahwa ide ceritanya berasal dari pengalaman neneknya. “Fragmen yang tentang entrok, yang tentang Marni ingin mendapatkan BH lalu bekerja keras dan sakit hati karena pamannya tidak mau membelikan, itu riil pengalaman hidup nenek saya. Sejak saya kecil sampai besar cerita itu diulang-ulang terus dalam berbagai kesempatan. Dari sepotong pengalaman itu, saya berpikir untuk terus melanjutkan menjadi sebuah kisah,” tutur Marni. Untuk detail penokohannya, aku Okky, kebanyakan sebenarnya apa yang ia lihat dan apa yang ia ketahui ketika tinggal di Magetan, Jawa Timur. “Termasuk soal kepercayaannya. Nenek saya itu yang sampai sekarang masih selametan, masih yang ‘Mbah Ibu Bumi, Bapak Kuoso’, yang masih seperti itu, walaupun di KTP-nya ditulis agama Islam,” kata Okky.

Novel itu ditulis Okky dalam waktu tiga bulan. “Yang lama itu menentukan akhirnya saya mau menulis ini, setelah melewati pemikiran yang mungkin bertahun-tahun,” ujarnya.

Menurut Lani, salah seorang peserta, dalam novel karya Okky itu, kekuatan dan perjuangan perempuan benar-benar ditonjolkan. “Tapi, saya nyesak dengan bagian akhirnya yang tidak happy ending. Luar biasa,” kata Lani. Namun, bagi Okky sendiri, sebenarnya novel ini happy ending, hanya saja Marni memiliki konsep kebahagiaan yang berbeda dengan orang sekarang. “Jangan membayangkan bahagianya orang seperti Marni itu bisa ke mal, belanja baju-baju, atau liburan. Bahkan, sampai sekarang pun bagi orang di daerah saya itu tidak ada orang yang pergi liburan. Jadi, konsep bahagianya beda,” ungkap Okky.

Peserta yang lain, Rizka Moeslichan, merasa mendapat pelajaran sangat banyak setelah membaca novel Entrok. “Dengan keterbatasan saya dengan istilah-istilah Jawa, saya sebenarnya tersendat-sendat membaca buku ini. Namun, justru di situlah kelebihan buku ini. Saya belajar banyak,” kata Rizka.

Ada lagi peserta yang mengatakan bahwa isi novel Okky lebih dalam daripada sekadar gambar BH seperti yang ada pada sampulnya. “Yang kedua, saya tertarik dengan tulisan Okky saat menjelaskan Marni pertama kali mendapat menstruasi, orang tuanya menerangkan seperti yang tertera pada halaman 31. Di sana saya melihat ada pembelajaran tentang seks. Nah, saya ingin tahu, apakah ini terjadi di masyarakat di desa? Apakah ini berdasarkan pembelajaran Okky terhadap masyarakat di desa yang sebenarnya sudah mengerti bahwa perempuan yang sudah mens sudah bisa melahirkan anak? Apakah ini memang terjadi atau hanya rekaan Okky saja tentang masyarakat desa yang seperti itu?” ujar peserta tersebut.

Okky menjawab bahwa hal yang seperti itu memang ada dan terjadi desa. “Tapi, orang seperti Marni dan Rahayu tidak pernah terpikir bahwa itu adalah pendidikan seks. Tujuannya lebih kepada menginformasikan bahwa seorang perempuan yang diberi tahu bukan lagi anak-anak sudah bisa hamil dan sudah bisa menikah. Itu artinya si anak harus mulai menjaga tubuhnya, harus mulai berdandan. Istilahnya, anak perempuan yang sudah dewasa itu semacam barang dagangan. Jangan bayangkan itu untuk tujuan yang terlalu tinggi, untuk mencegah si anak dari apa, apa. Enggak. Dan, itu memang riil, ada,” kata Okky.

Begitu banyak tanggapan dari peserta dan begitu banyak juga penjelasan dari Okky, baik mengenai novelnya maupun tentang situasi sosial-politik pada masa-masa tertentu yang menjadi bahan penulisan novelnya. Tak terasa hari telah menjelang malam, sehingga dengan terpaksa acara pun harus diakhiri. Seperti biasa, penulis buku, moderator, dan tiga penanya terbaik mendapat bingkisan, yang kali ini datangnya dari Orlane. Akan halnya seluruh peserta mendapat voucher free facial sebesar Rp500 ribu, juga dari Orlane. Dan, tentu saja disediakan kudapan yang lezat dari Kedai 3 Nyonya serta penandatanganan buku oleh Okky. Seru! Pedje

Dari Eve Magazine