Rabu, 18 Agustus 2010

Pentas Uang

Hilir mudik uang adalah juga aliran kekuasaan dan kerakusan. Uang merupa simbol anarkisme dan pemujaan tiada habis. Kekeramatan uang dengan segenap pembiusan jadi pembuta mujarab. Uang sebagai penanda kehidupan menjadi korban kontestasi dan tumbal. Dalam ranah peradaban, uang adalah raja sekaligus pemuas hasrat. Kekuasaan uang menembus dimensi demografi, geografi, dan sosial. Kepemuasan hasrat uang menerabas sisi kultural-religius. Keadaban manusia dipertaruhkan demi pelayanan sesaat.

Uang dalam analisis Hugh Daniel Dalziel (1962) bukan lagi sebatas alat barter semata. Melainkan menggerayangi sisi pelik manusia. Uang merupa langgam dan kepentingan. Dalam catatan Mandeville “cinta akan uang adalah akar segala kejahatan, namun rasa cinta itu adalah kejahatan yang mempersatukan orang-orang menjadi sebuah komunitas” (Sosiologi Uang: 7). Ramalan ini, barangkali, yang menjadi keimanan instingtif bagi para koruptor.

Komunitas koruptor terbentuk lantaran ada kesepahaman mengenai derajat uang. Timbangan uang menjadi hal yang sangat dialogis dalam menjabarkan makna dan eksistensi. Pembentukan kesepakatan itu diam-diam menelikung kesadaran manusia bahwa keadaban dalam merawat uang bukanlah suatu yang sangat krusial. Toh, pada dasarnya uang hanya sekadar cetakan lembaran kertas yang diberi “nilai”. Nilai itulah yang dipertaruhkan hingga berujung laku negatif, yang mudah didefinisikan namun sulit diterangkan.

Desakralisasi makna uang dilakukan dalam pelbagai mantera. Penghargaan atas ini menjadi pertanyaan serius bagi siapa pun. Kelayakan dalam melayangkan hakikat uang menjadi tanda seru yang harus dicamkan. Dalam takaran publik, kemaknaan terhadap uang tak cukup dipahami sebagai pemuas. Akan tetapi menimbangnya sebagai yang “sambil lalu”. Dengan begitu ketika uang tak lagi di tangan, ada yang jauh lebih penting. Bukan lain dengan cara bagaimana nilai uang itu diupayakan untuk didapat. Apakah dengan keadaban ataukah dengan mempertontonkan hal-hal negatif.

Kisah

Lakon uang diproblematisasi Okky Madasari (2010) lewat novelnya Entrok. Di sana tokoh penting Sumarni dijabarkan sebagai pemburu uang. Berawal dari hal mendasar, kepemilikan terhadap entrok (bra), Sumarni berkutat pada bagaimana mencari uang demi sebuah eksistensi. Kisah ini menyadarkan kita terhadap kepahaman terhadap uang yang cukup dilematis. Laku-laku klenik menjadi timbangan seru dalam kepentingan mencapai puncak klimaks. Berlatar cerita tahun 1950 hingga 19994, Okky serasa hendak menghembuskan argumen bahwa pembelaan terhadap uang akan menemui jalan tragik.

Kepercayaan laku jawa menjadi perdebatan tak kunjung habis dalam novel ini. Sumarni disangka dan dihujat memelihara tuyul dan percaya takhyul. Padahal pencariannya akan uang lebih didasarkan pada kesadaran penuh terhadap harkat martabat kaum hawa. Dengan menggenggam uang dan kepemilikan bra, ia hendak mendobrak kemapanan laki-laki. Kegenitannya dalam melakoni pekerjaan laki-laki sebagai kuli angkut jadi penantang tradisi feodal. Kepentingan(awal)nya bukan pada bagaimana ia memiliki banyak uang, akan tetapi hasrat memerdekakan hak-hak perempuan.

Jalan yang ditempuh ini, menandai episode menarik dalam memaknai nilai uang. Ketajaman dalam memerkarakan uang dengan dimensi yang sangat abu-abu menjadi takaran lebih menilai novel Entrok. Ia tak dikuarkan dengan semangat berapi-api mengatasnamakan uang semata. Lebih dari itu meniatkan pada prinsip-prinsip humanisme dan kesetaraan. Kesetujuan terhadap isu yang diarusutamakan Okky bisa dinilai dengan menghargai uang sebagai suatu jalan, bukan tujuan. Sebagai jalan, kita hanya akan mengingatnya, bukan untuk melanggengkannya.

Sakralitas?

Ingatan kita akan tersentak menyimak unggahan pendiri aliran Protestan Metodis John Wesley (1703-1793). Ia mengatakan uang “bukanlah milik pribadi kalian. Uang tak bisa menjadi milik kalian kecuali jika kalian adalah penguasa dunia dan sorga”. Peringatan ini menyentil kesadaran akan ketakpunyaan manusia terhadap apa pun. Termasuk yang selalu dipuja; uang.

Dengan begitu tak ada upaya untuk mengeramatkan uang. Sakralitas (uang) tak bisa membius kesadaran interpersonal dengan sekian tipu dalam laku. Kesadaran publik terhadap nilai uang sangat temporal dan tidak transenden menjadikannya mengingat kejadian demi kejadian. Bahwa gara-gara mempertu(h)ankan uang, banyak tubuh yang harus terpenjara dalam jejuri. Banyak tubuh yang harus meringkus dirinya dalam lingkaran cercaan dan kenistaan. Banyak tubuh yang harus menelanjangi harga diri ke hadapan pasungan malu.

Padahal sebagaimana kita tahu pemilik dunia dan sorga bukan lain adalah Tuhan. Itu yang dituturkan Al-Qur’an. Semuanya adalah titipan, bahkan badan kita hanya sebagai tumpangan nyawa selama di dunia. Lalu, menilai uang bukankah kita sepatutnya menasbihkan sebagai sesuatu yang remeh. Meski tak dimungkiri perputaran peradaban selalu diirinngi dan didanai oleh seberapa banyak nilai uang digelontorkan ke muka publik. Demikian.

Ahmad Khotim Muzakka

dimuat radar surabaya/18/07/10

1 komentar:

  1. Spare Parts For EverQuest Titanium Hockey Gloves
    Spare Parts For EverQuest Titanium Hockey Gloves. Brand: Spare · Product dimensions: titanium hair trimmer as seen on tv 20 titanium bikes x titanium exhaust tubing 15 cm. Width: titanium apple watch 18 x 15 cm. titanium cerakote

    BalasHapus